Suara.com - Leter C atau girik, petok, verponding dan segala dokumen tanah yang lama sudah tidak berlaku sejak Oktober 1987. Batas waktunya sudah lewat 35 tahun, tapi masih saja ada yang menggunakan dokumen-dokumen itu di pengadilan.
“Sekarang ini tidak ada lagi Leter C yang asli. Paling-paling yang ada cuma Catatan Leter C. Itu pun pasti bukan asli!” ujar M. Mugaera Djohar SH MKn, Ketua Bidang Perundang-undangan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang sekaligus Ketua Pengurus Daerah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kabupaten Tangerang.
Dalam diskusi terbatas ‘Konflik Pertanahan’ yang berlangsung sehari penuh, digagas oleh Advokat Dr Ir Albert Kuhon MS SH. Dihadiri antara lain oleh Irjen. Pol. (Purn) Dr Ronny F. Sompie SH MH, gurubesar ilmu hukum Universitas Pancasila Prof Dr Agus Surono SH MH, serta akademisi dari Universitas Nahdatul Ulama Indonesia Amsar Dulmanan dan Hasan Muaziz SH MH.
Albert Kuhon mengungkapkan, diskusi itu digagasnya karena keprihatinan akan maraknya perkara perdata tanah. Setiap tahun rata-rata ada sekitar 3.000 putusan perdata tanah di seluruh pengadilan di Indonesia. Atau 10 putusan perkara perdata tanah per hari kerja (asumsi 1 tahun setara 300 hari kerja). Atau 85,5 putusan perdata tanah per provinsi per tahun.
Baca Juga: GENERASI AIWA: Jejak Nusantara di Tanah Suci
“Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 yang dikenal sebagai UUPA sudah terbit 60 tahun lebih, tapi urusan keabsahan kepemilikan tanah di Indonesia masih juga karut-marut,” tutur advokat yang juga wartawan senior itu.
Menurut Mugaera Djohar, sengkarut itu antara lain disebabkan oleh tidak konsistennya sikap pemerintah dalam menangani kemelut pertanahan. UUPA dan berbagai turunan peraturannya sudah bagus, tetapi tidak diterapkan secara konsisten. Semestinya semua pihak menyadari, bahwa segala dokumen tanah yang lama sudah berakhir dan tidak berlaku lagi sejak Oktober 1987.
Nyatanya masih ada pihak-pihak yang berperkara menggunakan alat bukti hak-hak lama seperti Leter C atau girik, Leter D atau petok, verponding dan lain-lain. Tragisnya, dalam banyak kasus perdata tanah, Leter C atau Leter D masih juga diterima sebagai alat bukti.
Ditegaskannya, Leter C adalah catatan pembayaran pajak, seperti catatan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bukan bukti pemilikan tanah.
“Ini harus dipahami oleh para penegak hukum, termasuk penyidik, penuntut umum dan hakim,” ucapnya.
Baca Juga: Muncul Penolakan, Pemkot Jakarta Pusat Gelar Rapat Sosialisasi Perubahan Nama Jalan secara Tertutup
Irjen. Pol. (Purn) Ronny F. Sompie menegaskan bahwa mafia tanah adalah mafia hukum. Menurut pengalamannya sebagai penyidik, orang yang bisa merebut hak kepemilikan tanah pihak lain tidak bekerja sendirian. Dalam urusan perkara perdata, orang itu pasti bekerja sama dengan ahli hukum, penegak hukum, pihak pengadilan dan pihak-pihak lain.
Katanya, sambil menjalankan perkara perdata, orang itu juga melakukan gempuran melalui media dan penekanan-penekanan dengan pengaduan pidana. Tekanan-tekanan seperti itu, bisa mengakibatkan penegak hukum bertindak menyimpang.
“Dalam urusan pidana, bukan mustahil orang itu bekerjasama dengan oknum penyidik, mengadukan kasus penyerobotan tanah atau pemalsuan surat. Jadi memang mafia tanah sebetulnya adalah mafia hukum.” ujar Sompie.
Kegagalan para hakim memahami peraturan pertanahan, sering mengakibatkan putusan perkara pertanahan menyimpang dari kepastian hukum dan kepastian keadilan. Pemilik tanah secara sah dan memiliki sertifikat tanah, bisa dikalahkan oleh orang yang mengaku memiliki girik atau petok.
“Padahal zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi Leter C yang asli. Saya setuju, mafia tanah itu memang mafia hukum," ujar Mugaera.
Sompie menegaskan, hakim perkara perdata sering tidak memeriksa perkara secara materiil. Pembuktian selalu dibebankan kepada pihak yang mendalilkan.
“Hakim memang harus menegakkan hukum sehingga kepastian hukum bisa terjamin. Selain kepastian hukum, hakim juga harus menegakkan kepastian keadilan.” pungkasnya.