Suara.com - Keputusan Jepang menghentikan pendanaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu "menjadi tren positif dan momentum yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan akselerasi transisi menuju energi bersih", kata pengamat energi Achmed Shahram Edianto.
Meski demikian, menurut analis energi keuangan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi, tren itu tidak akan berdampak dalam waktu dekat pada industri batu bara yang saat ini tengah "di atas angin" karena banyaknya permintaan dan harga tinggi akibat perang Rusia-Ukraina.
Kementerian ESDM mengatakan, keputusan Jepang "tidak akan menjadi masalah karena sejak awal tidak masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030".
Apalagi, menurut pemerintah, pasokan listrik di sistem Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) "telah melebihi kapasitas".
Baca Juga: Program Biomassa dan Batu Bara di PLTU Tingkatkan Bauran Energi Terbarukan
Total kelebihan pasokan listrik di sistem Jamali sekitar lima gigawatt.
Baca juga:
- Indonesia jadi calon penerima pertama skema pinjaman internasional untuk percepat penutupan pembangkit listrik bertenaga batu bara
- Hasil KTT COP26 dan 'kecanduan' eksploitasi, apakah Indonesia akan bebas batu bara tahun 2040?
- Kesepakatan iklim baru disepakati di Glasgow, mengapa batu bara 'dihentikan bertahap' dan 'tidak dihapus'?
Pemerintah Jepang mengumumkan tidak akan lagi memberikan pinjaman pembangunan PLTU di Indonesia dan Bagladesh, pada Kamis (23/06).
Selain Jepang, China dan Korea Selatan yang memberikan pendanaan luar negeri terbesar untuk pembangunan PLTU di Indonesia juga menyatakan akan menghentikan pembangunan PLTU di luar negeri.
Tren yang sama juga terjadi di dalam negeri.
Baca Juga: PLTU Berkapasitas di Bawah 25 MW Sebaiknya Tak Kena Pajak Karbon
Bank Rakyat Indonesia (BRI) menyatakan akan membatasi kredit untuk sektor energi fosil, seperti batu bara dan minyak bumi.
Tren ke depan, nasib batu bara
Apa yang dilakukan Jepang, China, Korea Selatan, dan negara-negara lain, serta BRI di dalam negeri dinilai menunjukkan tren positif ke depan, yaitu pendanaan dan pembangunan PLTU untuk batu bara akan semakin turun hingga akhirnya tidak ada.
"Kalau ketiga negara itu tidak mau lagi mendanai pembangunan PLTU, maka pilihannya siapa? Eropa dan AS jelas sudah tidak mau. Ekuiti internal PLN? Sangat terbatas, apalagi cash flow-nya sedang bermasalah saat ini," kata analis energi keuangan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi, saat dihubungi, Rabu (29/06).
"APBN? Tidak akan sanggup, apalagi sekarang terjepit akibat Covid, ancaman inflasi dan lainnya. Pendanaan lokal? Biayanya akan jauh lebih mahal," kata Elrika.
Di sisi lain, secara global sedang terjadi pemensiunan dini PLTU secara bertahap, katanya.
Walau demikian, industri batu bara masih tetap terus berjalan setidaknya hingga 20 tahun ke depan.
"PLTU batu bara masih ada dan butuh suplai, tapi terjadi akselerasi percepatan penutupan PLTU di banyak negara," katanya.
Baca juga:
- Ekspor batu bara dibuka, tarif dasar listrik dalam negeri dikhawatirkan naik
- Pemerintah klaim abu batu bara bukan limbah B3 sudah berdasarkan 'kajian ilmiah', warga terdampak abu PLTU: 'debu bukan seperti cabe begitu dimakan langsung pedas'
- Udara Jakarta 'buruk', pemerintah pusat didesak turun tangan atasi 'emisi lintas batas'
Apakah pasokan listrik akan terganggu?
Di tengah tren penurunan pendanaan dan pembangunan PLTU, apakah pasokan listrik bagi masyarakat akan terganggu?
Rencana pembangunan PLTU Indramayu 2 x 1.000 megawatt awalnya masuk dalam program strategi nasional yang didanai oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) dengan total investasi lebih dari Rp50 triliun.
Proyek ini merupakan bagian dari program 35.000 megawatt yang digagas Presiden Joko Widodo. Namun, Jepang melalui Sekretaris Pers Kementerian Luar Negeri Hikariko Ono menyatakan mundur dalam pembangunan tersebut, dilansir dari Reuters.
Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar, mengatakan keputusan Jepang itu tidak akan menimbulkan masalah.
"Khusus untuk PLTU Indramayu mengingat neraca daya sistem Jamali sudah cukup, memang dari awal sudah tidak ada di RUPTL. Artinya, apabila saat ini Jepang menghentikan dana untuk PLTU coal tidak menjadi masalah. Apalagi saat ini sistem Jamali sudah cenderung ke overcapacity," katanya.
Wanhar menambahkan, beberapa rencana PLTU dalam RUPTL tahun 2021-2030 yang belum mendapatkan kepastian pendanaan mungkin akan tidak dilanjutkan.
Di sisi lain, Elrika Hamdi menambahkan, keputusan Jepang itu seharusnya membuat PLN "senang karena mereka tidak perlu memaksakan proyek yang tidak diperlukan karena sudah oversupply".
PLN mengakui kelebihan pasokan listrik karena mulai dioperasikannya pembangkit baru. Pada akhir tahun 2021 terdapat penambahan enam gigawatt di Pulau Jawa, namunya yang diserap hanya 800 megawatt.
Indonesia menargetkan pengunaan pembangkit listrik energi bersih pada tahun 2060.
Target awal, pada tahun 2025 akan ada pergantian ke pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 1,1 gigawatt lalu menjadi sembilan gigawatt di tahun 2035.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, tahun 2021, kapasitas pembangkit listrik Indonesia mencapai 73,74 gigawatt, di mana PLTU mendominasi sekitar 37 gigawatt atau 50%.
Apakah industri batu bara terganggu?
Tren mundurnya pendanaan terhadap pembangunan PLTU hingga kini belum dirasakan oleh pengusaha batu bara.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, mengatakan sebaliknya, saat ini minat terhadap batu bara malah sangat tinggi.
"Jangka panjang iya, pasti batu bara akan berkurang. Tapi jangka pendek, dalam jangka 10-20 tahun ke depan, saya rasa masih bagus, terbukti dengan harga kuat karena permintaan di luar sangat tinggi.
"China, India masih bangun PTLU batu bara. Eropa butuh batu bara setidaknya lima tahun ke depan. Ada PLTU batu bara yang ditutup, tapi ada juga yang dibangun. Jadi seimbang," kata Hendra.
Di Juni 2022, Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan (HBA) sebesar Rp4,8 juta (US$323,91) per ton, meningkat tajam dari awal tahun sekitar Rp1,1 juta.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah ekspor batu bara Indonesia tahun lalu mencapai 345,4 miliar kilogram dengan nilai sekitar Rp381 triliun.
Hendra berharap, batu bara tetap menjadi komoditas penting dalam mendukung perekonomian Indonesia.
Senada, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan, batu baru harus dioptimalkan bagi kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat melalui harga listrik yang terjangkau.
"Walau bagaimana, logika 'biar sedikit kotor, namun murah' tetap masih dianut masyarakat. Jadi kita tidak boleh serta-merta mengekor negara maju soal green energy," katanya.
Momentum tepat transisi menuju energi bersih
Analis energi dari lembaga pemikir iklim dan energi, Ember, Achmed Shahram Edianto, mengatakan langkah yang dilakukan oleh Jepang menunjukkan tren positif transisi energi bersih di Indonesia.
Edianto menambahkan, saat ini adalah momen yang tepat bagi Indonesia untuk melakukan akselerasi energi bersih yang ditargetkan tahun 2060.
Alasannya, pertama karena Indonesia mengalami surplus listrik dari standar yang telah ditetapkan.
Artinya, Indonesia memiliki keamanan energi yang cukup dalam proses transisi menuju EBT, tanpa perlu khawatir kekurangan listrik. Ditambah, kemajuan teknologi yang memungkinkan penyimpanan energi dalam skala besar.
Kedua adalah fokus negara-negara maju yang kini mengalihkan pendanaan ke EBT, seperti Jepang yang mendukung negara berkembang menuju bebas karbon.
"Ini momentum yang tepat. Kita harus ambil kesempatan sekarang karena terjadi pergeseran pendanaan dari luar negeri. Para investor ingin berinvestasi dari PLTU ke energi terbarukan," kata Edianto.
Ketiga adalah meningkatnya industri batu bara saat ini karena tingginya permintaan dan harga akibat perang Ukraina-Rusia.
"Artinya, ketika pergeseran ke EBT di dalam negeri, industri batu bara tidak mengalami pergejolakan besar, karena besarnya permintaan ekspor akan batu bara dari negara lain," katanya.
Pensiun dini PLTU tua
Direktur Eksekutif organisasi lingkungan Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong, mengatakan upaya lain yang perlu dilakukan adalah menutup pembangkit yang sudah tua karena teknologi yang tidak mumpuni dan berkontribusi besar atas emisi karbon.
"Jadi tidak hanya menghentikan proyek PLTU baru dalam perencanaan, tapi yang sedang existing, yang sudah tua juga dipensiundinikan," kata Meiki, mencontohkan terdapat dua PLTU yang sudah tua di Jawa Barat.
Elrika dari IEEFA mengatakan Indonesia memilik potensi energi baru terbaharukan yang sangat besar, seperti angin, matahari, geotermal, hidro hingga biomassa dan biogas.
"Namun yang sudah terbangun masih sangat kecil. Untuk memaksimalkan itu kuncinya adalah di perencanaan sistem yang baik dan seimbang antara supply dan demand, dengan pertimbangan potensi renewable dan geografis karena Indonesia negara kepulauan yang memiliki kondisi unik di masing-masing daerah," katanya.
Data Kementerian ESDM mengungkapkan, potensi EBT yang dimiliki Indonesia mencapai 3.686 gigawatt, dengan tingkat pemanfaatan yang kini baru 0,3%.
Porsi terbesar berasal dari energi surya dengan potensi mencapai 3.295 gigawatt.
Hingga akhir 2021, penggunaan EBT baru mencapai 11,7% dari total energi nasional. Targetnya, pada 2025 penggunaan energi akan mencapai 23%.