Suara.com - Presiden Joko Widodo disebut akan menawarkan solusi untuk mengatasi ancaman krisis pangan global yang dipicu oleh invasi Rusia di Ukraina.
Presiden Jokowi dilaporkan membawa proposal koridor pangan, skema yang sebelumnya pernah disampaikan beberapa negara.
Menurut laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO), perang Ukraina-Rusia akan mendorong 47 juta orang di seluruh dunia masuk ke jurang kerawanan pangan akut.
Guru besar dari IPB mengatakan ini ancaman nyata, yang juga akan terjadi di Indonesia jika perang tidak berhenti sampai 2024.
Baca Juga: Hermanto Ingatkan Ancaman Nyata Krisis Pangan kepada Pemerintah
Langkah yang diambil Presiden Jokowi diapresiasi sejumlah pengamat hubungan internasional, meskipun diragukan akan diterima oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.
Baca juga:
- Jokowi berkunjung ke Rusia dan Ukraina: Presiden disarankan gunakan pendekatan ekonomi
- Jokowi bertelepon dengan Putin, singgung konflik Ukraina dan G20
- Rusia tuduh negara Barat politisasi pertemuan menteri kesehatan G20 di Yogyakarta
Duta Besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, mengatakan Presiden Joko Widodo akan menyampaikan pandangan tentang krisis pangan global dalam pertemuan dengan Presiden Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Menurut Arif, Presiden Jokowi akan menawarkan gagasan "koridor pangan" kepada kedua kepala negara.
"Ya, Pak Presiden akan minta Presiden Putin untuk membuka koridor pupuk dan koridor gandum," katanya kepada BBC News Indonesia, Selasa (28/06).
Koridor ini merupakan jalur distribusi barang yang dijamin kedua negara, Rusia dan Ukraina, bebas dari aktivitas perang, yang posisinya menyerupai koridor bagi warga sipil yang ingin menyelamatkan diri dari perang.
Sebelumnya, dalam pertemuan tingkat tinggi dengan pemimpin kelompok negara maju G7, Jokowi menyampaikan keprihatinan tentang ancaman krisis pangan global menyusul krisis Ukraina-Rusia.
Ancaman krisis pangan ini akan lebih dulu menyasar negara-negara berkembang.
"Tiga ratus dua puluh tiga juta orang di tahun 2022 ini, menurut World Food Programme, terancam menghadapi kerawanan pangan akut.
"G7 dan G20 memiliki tanggung jawab besar untuk atasi krisis pangan ini.
"Mari kita tunaikan tanggung jawab kita, sekarang, dan mulai saat ini," kata Presiden Jokowi dalam KTT G7 sesi II dengan topik ketahanan pangan dan kesetaraan gender, yang berlangsung di Elmau, Jerman (27/06).
Dalam keterangan tertulis kepada pers, Presiden Jokowi mengatakan pentingnya dukungan negara G7 apa yang ia sebut "me-reintegrasi ekspor gandum Ukraina dan ekspor komoditas pangan dan pupuk Rusia dalam rantai pasok global".
Indonesia juga kena ancaman krisis pangan
Dalam laporan FAO awal bulan ini disebutkan ancaman krisis pangan dunia tahun ini akan semakin mengkhawatirkan karena krisis Ukraina-Rusia.
Rusia dan Ukraina mengekspor hampir 30% gandum dalam perdagangan internasional pada 2021, dan juga merupakan negara eksportir terbesar bagi komoditas pangan lainnya, seperti jagung, dan minyak nabati.
Sementara, Rusia merupakan produsen terbesar hidrokarbon, dan pengekspor pupuk dunia.
Pada April 2022, Indeks Harga Pangan FAO meningkat 17% lebih tinggi dibandingkan pada Januari 2022, dan harga serealia meningkat lebih dari 21% sejak Januari.
Harga minyak mentah dunia juga mengalami peningkatan antara Januari dan April 2022, dengan harga minyak Brent yang meningkat hingga 24,5%.
Baca juga:
- Harga pangan dunia cetak rekor tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir, ungkap PBB
- Apa yang terjadi kalau dunia kehabisan makanan?
Masih dari laporan FAO, sejak 2020, angka kemiskinan terus tumbuh di seluruh dunia, sejalan dengan jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan.
Bank Dunia memperingatkan bahwa setiap persentase kenaikan dalam indeks harga pangan akan mendorong 10 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem di seluruh dunia.
Menurut proyeksi Program Pangan Dunia (WFP), akibat terganggunya pasokan minyak dan pangan dari Rusia dan Ukraina ini akan meningkatkan 47 juta orang masuk pada kategori kerawanan pangan akut, dengan terbesar di Afrika sub-Sahara.
Berdasarkan simulasi FAO, jumlah orang kurang gizi secara global akan meningkat antara 7,6 dan 13,1 juta orang pada 2022/2023 sebagai dampak dari konflik ini.
Namun, Indonesia tak luput dari efek krisis Ukraina-Rusia. Indonesia merupakan negara importir hampir 100% gandum.
Ukraina menempati posisi negara ketiga negara eksportir biji gandum dan meslin bagi Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, nilai impor dari Ukraina ini terus meningkat.
Sementara sejak invasi Rusia berlangsung, produksi gandum dunia menurun hingga -8%.
"Impor gandum kita 2021 kemarin 11,7 juta ton, luar biasa besar. Dan saat ini sudah 27% pangan kita ini dipasok oleh gandum," kata guru besar IPB, Profesor Dwi Andreas Santosa.
Dalam jangka pendek dan menengah, harga produk turunan gandum seperti roti, mi, tepung terigu, dan kue-kue diperkirakan akan melonjak, karena harga saat ini "masih menggunakan kontrak lama".
"Tetapi gandum kemungkinan besar periode 2020-2023 ini akan menurun produksinya, karena produsen gandum Ukraina dan Rusia mengalami gangguan," tambah Profesor Andreas.
Bukan hanya itu, Indonesia juga masih mengalami ketergantungan impor pangan lainnya seperti kedelai, jagung, dan gula.
Harga-harga ini juga diperkirakan akan terdongkrak seiring kenaikan harga gandum dunia.
Oleh karena itu, Andreas mendorong pemerintah meningkatkan produksi beras sebagai langkah antisipasi krisis Ukraina-Rusia akan terjadi selama bertahun-tahun ke depan.
"Kecuali dalam dua tiga tahun ke depan terjadi bencana kekeringan di beberapa wilayah pangan produsen utama. Kalau itu terjadi, ya habis sudah," tambahnya.
Selain itu, Indonesia juga masih impor pupuk dan jagung dari Rusia.
Apresiasi dan sangsi
Langkah Presiden membawa persoalan krisis pangan kepada Putin dan Zelensky mendapat apresiasi dari sejumlah pengamat hubungan internasional, meskipun ada pula yang meragukan akan diterima Presiden Putin.
"Jadi itu argumentasi yang cukup cerdas yang mungkin bisa menambah kuat, alasan kita untuk melobi kedua belah pihak untuk berhenti berperang," kata guru besar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Profesor Evi Fitriani.
Selain itu, ia juga melihat pertemuan dengan Putin merupakan momentum Jokowi untuk meningkatkan posisi tawar menggencarkan misi perdamaian. Salah satunya saat mengajak Putin untuk pertemuan G20 yang akan diselenggarakan November mendatang di Bali.
"Aneh, kalau putin datang, perang masih berlangsung. Kita semua berusaha bagaimana perang berhenti," tambah Profesor Evi.
Pengamat hubungan internasional dari Universtas Padjajaran, Teuku Rezasyah, juga menilai gagasan tentang krisis pangan yang dibawa Jokowi kepada Putin sebagai melibatkan Rusia "bagian dari solusi."
"Jadi kalau selama ini dunia mengatakan Rusia is the part of the problem, maka dengan masuk ide pangan ini, kita menjadikan Rusia sebagai part of the solution," kata Rezasyah.
Mengenai gagasan koridor pangan, menurut Rezasyah, sebaiknya hal itu keluar dari Putin.
"Rusia tidak boleh kita todong dengan suatu ide yang dia nggak setuju. Ini marah sekali Rusia. Karena Pak Jokowi datang ke Rusia ini kan berhadapan dengan seorang Putin yang sedang sangat percaya diri," tambah Rezasyah yang menyarankan agar pertemuan ini dilakukan dengan "hati-hati".
Suzie Sudarman, pengamat hubungan internasional dari UI, mengakui saat ini Presiden Putin sedang berada "di atas angin", dan sanksi Barat tidak berpengaruh terhadap negara itu karena pasar minyaknya masih besar.
Ia sangsi Presiden Putin akan mendengarkan usulan dari Presiden Jokowi.
"China kan membeli minyak banyak sekali. India juga. Jadi sementara ada cashflow, ya amanlah. Mudah-mudahan bisa berakhir karena mujizat. Ini hanya mujizat yang bisa melakukan penyetopan [perang] ini,"
Usulan tentang koridor pangan bukan hal baru.
Awal bulan ini Turki juga menjajaki gagasan koridor pangan kepada Rusia dan Ukraina.
Pihak Turki mengatakan masih intensif melakukan dialog dengan Rusia dan Ukraina.