Suara.com - Perkembangan penduduk perkotaan yang cepat di lahan yang semakin terbatas berimplikasi pada urgensi sistem penyediaan perumahan dan akses infrastruktur dasar yang tepat.
Persoalannya, kota-kota di Indonesia memiliki kapasitas terbatas dalam penyediaan pelayanan infrastruktur dasar dan perumahan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Untuk di Jakarta saja, saat ini banyak masyarakat yang tinggal di wilayah yang sangat padat huniannya.
"Tingginya interaksi antar manusia di dalam hunian yang tidak layak akan berisiko terhadap cepatnya penyebaran penyakit yang menular akibat interaksi antar manusia seperti TBC atau Covid-19," kata Kepala Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan (BP2P) Jawa I Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Firsta Ismet dalam keterangan persnya, Jumat (24/6/2022).
Apalagi di tengah lahan Kota Jakarta yang semakin terbatas sedangkan kebutuhan akan rumah layak juga terus meningkat, maka pilihan paling rasional adalah hunian vertikal.
"Ini menjadi satu-satunya cara dalam mengatasi kepadatan hunian sekaligus meningkatkan supply perumahan layak terjangkau bagi masyarakat," paparnya.
Sementara di luar negeri, kesuksesan beberapa negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan Hongkong dalam pembangunan rusun berkepadatan tinggi bisa dijadikan gambaran positif dari implementasi kebijakan dalam praktek di lapangan.
DKI Jakarta, merupakan kota yang paling berkembang hunian vertikalnya. Sejak tahun 80-an, sudah banyak rusun yang dibangun dan dilanjutkan hingga kini.
Sebagai ibu kota negara sekaligus kota metropolitan yang sudah mencapai usia 495 tahun, Jakarta membutuhkan lebih banyak rusun guna mengakomodasi kebutuhan tempat tinggal masyarakat urban di DKI Jakarta yang terus bertambah.
Baca Juga: Sedot Anggaran APBN Rp196 Miliar, Kementerian PUPR Rampungkan Proyek Rusunawa Rawa Bebek
Rumah tinggal berupa rusun sewa sederhana (rusunawa) yang layak huni sangat dibutuhkan masyarakat
Jakarta yang mobilitasnya sangat tinggi dan produktif.