Suara.com - PT Titan Infra Energi (TIE) menilai pernyataan PT Bank Mandiri terkait kasus kredit macet PT Titan melalui keterbukaan informasi publik di Bursa Efek Indonesia hanya normatif biasa.
Direktur Utama Titan Darwan Siregar mengatakan, pernyataan Bank Mandiri normatif karena hanya menyatakan utang Titan kepada kreditur sindikasi berstatus non performing loa (NPL) alias macet.
"Pernyataan NPL itu sangat normatif. Buktinya, kita masih bayar," kata Darwan kepada wartawan, Jumat (24/6/202).
Darwan pun menjelaskan upaya penangguhan pembayaran yang terjadi pada 2020 lalu lantaran Titan berusaha mengikuti kebijakan relaksasi kredit yang ditawarkan pemerintah.
Baca Juga: Gerakkan UMKM, Bank Mandiri Gelar Pembinaan Fasilitator Rumah BUMN
Dirinya pun menegaskan upaya restrukturisasi kredit yang disodorkan Titan tersebut sebagai hak yang dimiliki pelaku usaha di Indonesia.
"Pemerintah - OJK memberikan relaksasi. Kami coba ikuti (relaksasi kredit)," ujarnya.
Saat ini, Titan terus berupaya mengajukan proses restrukturisasi pembayaran utang kepada kreditur, termasuk kepada Bank Mandiri, namun belum diproses lebih lanjut.
Darwan mengaku pihaknya akan kembali dan terus mendatangi kreditur sindikasi, termasuk Bank Mandiri guna menanyakan dan mengingatkan kembali upaya restrukturisasi yang sudah diajukan selama hampir 3 tahun terakhir.
"Sebagai bentuk niat baik, kami akan segera datangi kembali Bank Mandiri. Sebagai nasabah, kami berharap komunikasi bisa berjalan lebih baik lagi," tuturnya.
Baca Juga: Bank Mandiri Berikan Fasilitas Kredit ke UMKM
Pengacara Titan Haposan Hutagalung menambahkan, situasi pandemi adalah merupakan keadaan terpaksa sehingga Titan tidak mampu mencicil utangnya secara penuh. Dan dalam undang-undang dalam situasi keterpaksaan karena pandemic Covid 19 tersebut.
Dia mengutip pasal 19 ayat (2) UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. “Undang-undang ini berbunyi, berbunyi, tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang,” kutip Haposan.
Selain itu, yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 tertanggal 11 Maret 1970, dalam pertimbangan hukumnya jelas menyatakan, “Sengketa hutang-piutang adalah merupakan sengketa perdata,” ujar Haposan.
Pernyataan Haposan tersebut dipertegas guru besar hukum perdata dari Universitas Gadjah Mada, Profesor M Hawin. Dia menjelaskan, perjanjian kredit fasilitas yang disepakati Titan dan kreditur sindikasi PT Bank Mandiri Tbk, Credit Suisse AG Cabang Singapura, PT Bank CIMB Niaga, dan Trafigura Pte Ltd merupakan murni perikatan perdata.
Perikatan yang ditandatangani pada 28 Agustus 2018 tersebut memiliki alas hukum sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata.
Hawin menambahkan, dalam pasal 1320 tersebut ada empat aspek yang telah terpenuhi. Mulai dari objek yang diperjanjikan, kecapakapan para pihak yang terlibat, suatu sebab yang tidak dilarang hingga yang terutama adalah kesepakatan para pihak.
Kalau kemudian Bank Mandiri menuding kliennya melakukan tindak pidana penggelapan dan tindak pidana pencucian uang, jelas perlu pembuktian yang amat cermat. Mantan Dekan Fakultas Hukum UGM menyatakan, peluang Titan melakukan transfer gelap nyaris tidak dapat dilakukan.
Perlu diketahui, seluruh akun bank yang digunakan perjanjian kredit adalah milik Titan dan anak-anak usahanya ini menggunakan rekening Bank Mandiri, yang juga bertindak selaku Agen. Isi akun itu hanya bisa didebet kreditur sindikasi pada saat jatuh tempo cicilan pembayaran kredit.
Alur transaksi kas yang ada, baik di Rekening Operasional (Operational Account), Rekening Penagihan (Collection Account) maupun rekening DSA (Debt Service Account) yang disepakati dalam perjanjian CAMA sudah mengatur kesepakatan detail tentang seluruh akun-akun tersebut serta CAMA juga didasarkan pada Hukum Negara Inggris.
“Ini semua ranah hukum perdata,” ujar Hawin.
Kasus ini bermula pada 2018 ketika Titan Energy mendapatkan fasilitas pinjaman sindikasi dari Bank Mandiri, CIMB Niaga, dan Credit Suisse AG. Nilai kredit tersebut mencapai sebesar US$450 juta itu setara dengan Rp6,5 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS).
Dalam perjanjian tersebut disepakati hasil penjualan produk Titan berupa batu bara sebanyak 20% sebagai jaminan pembayaran pelunasan kredit. Kemudian, 80% disepakati sebagai dana operasional perusahaan.
Akan tetapi, sejak Februari 2020, Titan tidak lagi membayar angsuran kepada pada kreditur sindikasi bank.
Sementara, PT Titan Infra Energy telah mengajukan permohonan praperadilan lantaran tindakan polisi telah kembali membuka kasus yang sebelumnya padahal telah dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan SP3 atas nama Titan pada 4 Oktober 2021 pada kasus sebelumnya itu.
Sidang permohonan praperadilan PT Titan Infra Energy terus berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang putusan praperadilan sendiri akan diagendakan Selasa sore (21/6/2022).