Suara.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemulihan ekonomi masih dibayangi risiko geopolitik, inflasi, gejolak pasar keuangan, dan pelemahan ekonomi negara maju.
Namun, seiring meningkatnya aktivitas masyarakat, pemulihan ekonomi optimis berjalan menguat.
Kinerja APBN secara umum menunjukkan pemulihan di tengah ketidakpastian situasi global, didukung oleh Purchasing Managers Index yang ekspansif, Indeks Keyakinan Konsumen yang menguat, serta tumbuhnya sektor konsumsi, khususnya terkait konsumsi listrik industri dan bisnis.
Sri Mulyani mengatakan bahwa neraca perdagangan bulan Mei 2022 masih mencatatkan surplus USD2,90 miliar dengan akumulasi hingga Mei 2022 mencapai USD19,79 miliar. Ekspor bulan Mei mengalami surplus USD21,5 miliar, relatif melemah dibandingkan bulan sebelumnya.
Baca Juga: Dana Pemda Rp200 Triliun Masih 'Ngendon' di Perbankan Bikin Sri Mulyani Pusing
“Kalau kita lihat dibandingkan dengan impor kita yang mencapai USD18,6 miliar dengan pertumbuhan 30,7 persen, ini perlu untuk kita juga waspadai. Karena impor pertumbuhannya lebih tinggi dari ekspor, meskipun levelnya masih lebih rendah. Ini artinya trade balance kita, kalau kita tidak terus menjaga kinerja ekspor, suatu saat juga bisa makin mengecil surplusnya,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita secara virtual, Kamis (23/6/2022).
Sri Mulyani menjelaskan berbagai indikator perekonomian juga masih melanjutkan tren pemulihan secara merata. Tren positif ini ditunjukkan baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Mobility Index Indonesia bulan Mei menunjukkan mobilitas yang meningkat sangat tajam di angka 18,6.
Mobilitas masyarakat meningkat seiring dengan kondisi pandemi yang terkendali dan momen mudik pada Hari Raya Idulfitri.
Sementara itu retail sales index tercatat 5,4 persen, terus meningkat sejalan dengan optimisme dan mobilitas masyarakat. Sedangkan pertumbuhan impor bahan baku 33,9 persen dan barang modal sebesar 29,2 persen terlihat juga masih tinggi yang menunjukkan adanya penguatan produksi dalam negeri.
“Dan ini juga dikonfirmasi dengan konsumsi listrik di industri dan bisnis. Di industri bahkan pertumbuhannya double digit diatas 16,4 persen, sedangkan bisnis itu tumbuh 9,3 persen untuk permintaan listriknya,” papar Sri Mulyani.
Baca Juga: Kasus Covid-19 di Indonesia Naik Lagi, Menkeu Sri Mulyani Was-was dan Gelisah
Menurut Menkeu, kapasitas produksi manufaktur Indonesia juga sudah mulai meningkat dan semakin mendekati level sebelum pandemi.
Selanjutnya, Mandiri Spending index juga tercatat pada level tertinggi sejak Januari 2020 yaitu mencapai 149,2. Artinya, kelompok masyarakat, terutama menengah-atas, melakukan pengeluaran dengan menggunakan kartu kredit yang menunjukkan kenaikan aktivitas ekonomi.
Dengan aktivitas yang masih sangat kuat, kita akan lebih optimis bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua masih akan sangat kuat di sekitar 4,8 hingga 5,3 persen, dengan titiknya mungkin di sekitar 5 persen.
"Tren ini adalah suatu tren yang cukup bagus, dilihat dari konsumennya meningkat, dengan aktivitas meningkat, dan juga dari sisi produksi meningkat. Ini berarti investasi tumbuh tinggi dan ekspor-impor juga tumbuh tinggi, namun neraca perdagangan masih mencatatkan surplus,” katanya.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi agregat demand, Menkeu melihat bahwa mesin pertumbuhan ekonomi mulai didorong dari sisi konsumsi rumah tangga, investasi dalam bentuk berbagai macam ekspansi kapasitas, dan juga dari sisi sektor eksternal.
“Ini yang tentunya menggembirakan karena pertumbuhan ekonomi sekarang tidak tergantung lagi hanya dari sisi APBN. Bahkan APBN sekarang mulai bergeser menjadi instrumen untuk menjaga shock, tapi bukan sebagai lokomotif utama pertumbuhan ekonomi. Karena sekarang mesin pertumbuhan sudah mulai menyala pada sisi konsumsi, investasi, dan ekspor,” kata dia.