Suara.com - Mendekati HUT DKI Jakarta yang ke 495, Ibukota kembali menjadi kota dengan kualitas udara terburuk sedunia. Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk dengan rata-rata tingkat polusi PM2.5 sebesar 37.8 µg/m3.
Bandung dan D.I. Yogyakarta juga mengalami kenaikan polusi PM2.5 yang cukup signifikan.
Melansir data dari nafas Indonesia, terdapat tren kenaikan polusi PM2.5 sebanyak 25% di bulan Juni 2022 dibandingkan dengan bulan Mei 2022.
"Setelah 2 tahun mengamati pola kualitas udara di Indonesia, nafas menemukan bahwa ada korelasi antara kualitas udara yang tidak sehat dan musim kemarau. Ketika musim kemarau tiba, besar kemungkinan untuk kualitas udara memburuk secara merata karena berkurangnya curah hujan dan pergerakan angin – yang membantu mengurangi penumpukan polusi.” ujar Nathan Roestandy selaku CEO dan Co-Founder nafas Indonesia.
Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Dunia, Anies: Baca Berita Secara Kritis
Nathan juga mengungkapkan kekhawatirannya akan dampak dari polusi PM2.5 terhadap kesehatan, karena polusi tersebut dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit; mulai dari penyakit yang menyerang saluran pernafasan hingga penyakit-penyakit kronis lainnya seperti jantung koroner dan kanker.
Beberapa organisasi dan komunitas terkait juga mengungkapkan kekhawatiran yang serupa.
Novita Natalia, selaku Community Manager di komunitas digital, Bicara Udara mengatakan bahwa upaya warga Jakarta untuk hidup sehat bisa menjadi sia-sia.
"Miris ketika orang-orang berusaha lebih sehat dengan berolahraga di pagi hari, mereka justru terancam oleh kualitas udara yang buruk yang dapat mengancam nyawa mereka.” tutur Novita saat ditanyakan pendapatnya mengenai polusi udara yang kian memburuk.
Sebuah yayasan yang bergerak di bidang iklim dan energi terbarukan menyatakan sikap atas posisi kota Jakarta sebagai kota dengan yang paling berpolusi saat ini.
Baca Juga: Selain Jakarta, Ini 7 Kota dengan Tingkat Polusi Terparah di Dunia
Adhityani Putri, Executive Director untuk Yayasan Indonesia CERAH beranggapan bahwa kualitas udara Jakarta yg belakangan ini memburuk merupakan masalah berulang yang belum kunjung berhasil diatasi oleh pemerintah provinsi maupun pusat.
“Sumber pencemarannya harus segera ditangani, yaitu pemanfaatan energi fosil di sektor transportasi, industri dan ketenagalistrikan. Pemerintah tidak boleh terus-menerus mementingkan kepentingan bisnis dan ekonomi jangka pendek dengan membiarkan kondisi ini berlangsung dengan dalih bahwa perubahan itu mahal. Dampak kesehatan yang akan menimpa warga Jakarta akan berujung berkurangnya produktivitas dan biaya kesehatan yang tinggi. Inilah yang akan menjadi jauh lebih mahal.” pungkasnya.