Suara.com - Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan bertemu dengan beberapa orang dengan latar belakang yang berbeda. Ada Novi yang merupakan seorang petani, Joko yang sehari-hari berprofesi menjadi tukang permak otomotif, lalu Edi yang berprofesi menjadi pelukis eceran. Ketika berinteraksi dengan mereka, saya ‘iseng’ bertanya mengenai pajak dan persepsi mereka mengenai manfaat pajak.
Pertama, saya bertanya kepada Novi. Latar belakang Novi sendiri cukup unik. Dulunya penyanyi dan sekarang balik kanan menjadi petani. Fenomena yang jarang terjadi.
“Mba Nov, kalau pajak menurutmu bagaimana?” tanya saya
“Nggih, kalau pajak itu ya kewajiban pak, harus dibayar kalau pas panen,” ungkapnya
“Lha, emang selama ini bayar pajak mba? Apa yang njenengan rasakan dari membayar pajak,” timpalku
“Lha yo banyak Pak, saya dapat subsidi pupuk, terus fasilitas lainnya itu kan dari pemerintah kan dari pajak tho pak,” tandas Novi.
Seketika saya tercengang. Beralih ketika bertemu Joko. Si pemodif motor dan mobil klasik ini ketika saya tanyakan pajak dan manfaatnya ia pun menimpali dengan hal yang senada.
Baca Juga: Tunggak Pajak Belasan Miliar, KPK Pasang Spanduk Penagihan PAP di PT SDIC Papua Cement
"Kalau saya Pak, bayar pajak ini ya ada manfaatnya, jalan raya buat mobil dan motor terus dapat BPJS itu ya andil saya bayar pajak,” jawab Pak Joko
Namun, lain halnya dengan Edi. Mas Edi, begitu saya sering memanggilnya menyatakan hal yang agak berbeda ketika saya tanya apa manfaat bayar pajak.
"Sebetulnya saya pun sadar kalau pajak ini seperti iuran dan bermanfaat buat infrastruktur, meskipun kadang bingung cara bayarnya.” ungkapnya.
Lalu saya mulai berpikir. Dari ketiganya masing-masing mengakui bahwa kewajiban membayar pajak adalah suatu keniscayaan dan sadar pajak adalah suatu kepastian. Namun, ada sedikit hal yang mengganjal karena meskipun agak bias, saya ingin membuktikan pernyataan mereka dengan fakta. Jangan-jangan, hanya karena saya seorang petugas pajak mereka menjawab dengan ideal di depan saya. Akhirnya saya coba mencari data dari laman resmi Kementerian Keuangan. Saya ingin membuktikan apakah pernyataan dari ketiganya adalah suatu fakta? Pas dan saya menemukan datanya dari sebuah buku yang diunggah pada laman resmi Kementerian Keuangan. Judulnya "Informasi APBN 2022, Melanjutkan Dukungan Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural” dan bukunya bisa diunduh pada laman tersebut.
Dari data APBN 2022 yang tercantum pada buku tersebut, ternyata memang benar belanja negara sebagian besar ditopang oleh penerimaan pajak. Secara keseluruhan sebesar Rp 1.846,1 T pendapatan negara, sejumlah Rp 1.510 T berasal dari penerimaan perpajakan. Komponen penerimaan pajak sendiri terdiri dari Rp 1.256 T Pajak, Rp 245 T Kepabeanan dan Cukai, Rp 335 T PNBP dan sisanya Rp 0,5 T dari Hibah. Artinya, sebesar 68% pendapatan negara ditopang oleh pajak. Ya, termasuk pajak yang dibayarkan oleh ketiga orang tadi.
Baca Juga: Bapenda Bontang Mau Pungut Retribusi Tiap Toko di Pinggir Jalan
Lalu, saya pun memperoleh informasi seputar belanja negara pada APBN 2022. Totalnya mencapai Rp 1.944,5 T. Dari setiap sektor, beberapa saya garis bawahi sesuai dengan pernyataan ketiga orang tadi. Pertama infrastruktur, karena ketiganya menyinggung soal jalan raya dan infrastruktur. Sebesar Rp 365 T ternyata digelontorkan pemerintah untuk infrastruktur. Bukan jumlah yang kecil tentunya.
Kemudian karena ada petani, pelukis dan pedagang yang notabene mereka adalah UMKM. Seharusnya, data yang ada linier dengan pernyataan dari ketiganya. Saya pun melihat ke Anggaran Subsidi. Dari data yang ada, untuk Subsidi dialokasikan sebesar Rp 207 T. Mengapa subsidi? Karena ketiganya menurut pengamatan saya adalah masyarakat yang merasakan manfaat dari adanya subsidi. Ada yang mendapat subsidi pupuk, BPJS dan lainnya. Lebih lagi diinformasikan bahwa pada tahun 2022 subsidi difokuskan untuk terintegrasi dan mendukung UMKM, Petani dan Layanan Transportasi Publik. Mencengangkan, analisa yang ada mengatakan bahwa pernyataan ketiganya sejalan dengan data yang ada pada buku tersebut.
Pajak Tidak Manfaat Adalah Fatamorgana
Setelah itu saya mencoba menarik kesimpulan. Sebetulnya, kebermanfaatan pajak diakui oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun ini bukan riset resmi, namun ketiganya cukup mewakili khalayak. Dari berbeda latar dan tempat. Novi dari Boyolali, Edi dari Brebes, dan Joko dari Temanggung. Mereka sepakat pajak bermanfaat.
Lalu, bagaimana dengan kemungkinan pendapat lain yang tidak mengakui keabsahan manfaat pajak? Menurut saya itu hanya fatamorgana. Secara harfiah, fatamorgana adalah sebuah fenomena di mana ilusi optik biasanya terjadi di tanah yang luas akibat dari pembiasan cahaya karena kepadatan berbeda, sehingga bisa membuat sesuatu tidak ada menjadi seolah ada atau sesuatu yang palsu. Seperti pendapat yang kontra akan manfaat pajak.
Diibaratkan orang yang mengatakan pajak tidak bermanfaat adalah orang yang terkena fatamorgana. Ia melihat sesuatu yang palsu. Jika fenomena fatamorgana asli disebabkan oleh luasnya tanah dan cahaya yang bias karena kepadatan tertentu, fatamorgana ketidakmanfaatan pajak bisa jadi disebabkan karena kelupaan. Bias ingatan yang wajar terjadi pada manusia.
Jelas-jelas setiap orang di negara ini setiap hari melewati jalan raya. Menikmati menggunakan jalan dengan aman. Meskipun kadang masih ada yang kurang layak, tetapi jelas ada. Ada wujudnya, bisa dirasakan, tetapi tidak diakui kalau itu adalah bagian dari manfaat pajak.
Salah satu contohnya demikian. Apakah nyata terjadi fenomena fatamorgana ini? Ada dan banyak. Bahkan dari kalangan elit pun. Penyangkalan terhadap manfaat pajak adalah benih-benih penghindaran pajak. Padahal, orang yang tidak membayar pajak adalah orang yang paling merugi. Kalau kata Lord Thomas Dewar, seorang pengusaha di Scotland kurun waktu 1864:
“Satu-satunya hal yang lebih menyakitkan daripada membayar pajak penghasilan adalah tidak harus membayar pajak penghasilan.”
Jelas, karena kalau tidak bayar pajak artinya ada ketidakmampuan untuk memenuhi hajat sehari-hari. Kata lainnya adalah mengalami kemiskinan. Dan menyoal kemiskinan adalah perkara sulit. Apalagi kalau yang miskin adalah mentalnya.
Jadi intinya, tidak mengakui manfaat pajak adalah benih penghindaran pajak dan penghindaran pajak berarti tidak membayar pajak. Kalau tidak membayar pajak berarti? Silakan simpulkan sendiri.
Penulis: Mukhamad Wisnu Nagoro