Ekonomi Global Sedang Tidak Baik-baik Saja

Kamis, 16 Juni 2022 | 16:25 WIB
Ekonomi Global Sedang Tidak Baik-baik Saja
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan laporannya saat Rapat Paripurna ke-22 DPR masa persidangan V tahun sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (20/5/2022). Rapat paripurna tersebut berisi agenda tunggal yaitu mendengarkan penyampaian pemerintah tentang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN Tahun Anggaran 2023. ANTARA FOTO/Fauzan/wsj.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kondisi perekonomian global sedang tidak baik-baik saja. Dua negara terkuat di dunia, Amerika Serikat dan China, sedang terancam perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Sri pelemahan ekonomi dipicu invasi Rusia ke Ukraina yang membuat harga energi dan pangan dunia naik sehingga laju inflasi di berbagai negara melambung tinggi.

"Munculnya masalah geopolitical baru perang Rusia-Ukraina ini persaingan negara dengan Eropa yang terjadinya rambatan dalam bentuk pangan dan energi," kata Sri Mulyani dalam acara Pengarahan Kepada Penjabat Gubernur dan Penjabat Bupati/Penjabat Walikota di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (16/6/2022).

Kondisi ekonomi global diperparah dengan adanya lockdown di China akibat kasus Covid di negara tirai bambu sedang meninggi.

Baca Juga: Survei: Makin Banyak Orang Hindari Berita Penting, Lebih Suka Akses lewat TikTok

Kondisi itu membuat gejolak di pasar keuangan global, terutama didorong kenaikan suku bunga The Fed sehingga menimbulkan likuiditas yang ketat bagi sektor keuangan global.

"Pengetatan likuiditas dan suku bunga naik sudah menunjukkan basis 75 poin," ujarnya.

Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, resmi mengerek suku bunga acuan mereka sebesar 75 basis poin (bps) atau 0,75 persen.

Kenaikan suku bunga menjadi yang terbesar sejak 1994. Kenaikan suku bunga acuan dalam jumlah besar ini sekaligus sinyal dari The Fed akan langkah agresif yang akan ditempuh untuk menahan inflasi di Amerika Serikat yang terus mendaki di luar perkirakan.

Kondisi ini sedikit membuat ancaman bagi sektor keuangan nasional. Ekonom Digital of Reform on Economic Piter Abdullah mengatakan kenaikan suku bunga The Fed yang begitu tinggi akan membuat spread yield surat-surat berharga akan menyempit dan berpotensi mendorong keluarnya modal asing.

Baca Juga: Sri Mulyani: Dinamika Global Tantangan Capai Target Presidensi G20

"Kalau BI tidak segera menaikkan suku bunga acuan, saya perkirakan modal asing akan keluar, walaupun tidak besar karena porsi modal asing di dalam negeri memang sudah menurun," kata Piter saat dihubungi Suara.com.

Tapi yang jadi persoalan, kata Piter, ketika adanya aliran keluarnya modal asing, tentunya juga akan diikuti dengan tidak adanya aliran modal asing yang masuk.

"Jelas kondisi ini akan menekan nilai tukar rupiah. rupiah bisa melemah, indeks harga saham pasti akan terkoreksi, harga SUN akan turun, pembiayaan fiskal akan sulit," katanya.

Dia menyarankan agar Bank Indonesia segera memitigasi dampak yang akan timbul dengan naiknya suku bunga The Fed. Dikatakan Piter, BI juga harus ikut menyesuaikan kenaikan yang dilakukan The Fed.

"Jadi saya kira yang harus dilakukan oleh BI adalah segera melakukan penyesuaian suku bunga acuan. menaikkan BI7DRR setidaknya 25 atau bahkan 50 bps," kata Piter.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI