Suara.com - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso angkat suara perihal temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan bantuan program Kartu Prakerja kepada 119.494 peserta senilai Rp289,85 miliar berpotensi tidak tepat sasaran.
Menurut Susiwijono, pihak Manajemen Pelaksana (PMO) Kartu Prakerja telah berkirim surat kepada BPK terkait temuan tersebut dan intens berkomunikasi.
Permasalahan yang paling mendasari temuan BPK kata Susiwijono adalah soal banyaknya perserta Kartu Prakerja yang mendapatkan bantuan padahal gaji mereka diatas Rp3,5 juta. Namun kata Susiwijono tidak ada aturan terkait batas gaji dalam program Kartu Prakerja tersebut.
"Di situ yang dapat kan Rp3,5 juta ke bawah. Di Kartu Prakerja, tidak ada aturan untuk itu (penerima program dengan gaji di bawah Rp3,5 juta)," kata Susi saat diskusi bareng media di Kantornya, Jakarta, Jumat (10/6/2022).
Baca Juga: Hewan Ternak Banyak Terinfeksi, Pemerintah Akan Bentuk Satgas Penyakit Mulut dan Kuku
"Jadi dianalogikan kalau ngikutin itu [syarat penerima BSU], mestinya akan ada sekitar 200 sekian yang tidak tepat sasaran," tambah Susi.
Dia juga menegaskan, baik dalam Peraturan Presiden (Perpres) maupun Permenko tidak mendasarkan kepada gaji penerima program.
"Ini artinya program BSU dan Kartu Prakerja adalah dua program yang berbeda," katanya.
BPK Temukan Kejanggalan
Sebelumnya, BPK melaporkan adanya indikasi kejanggalan dalam program Kartu Prakerja sepanjang tahun 2021 lalu.
Hasilnya sebanyak 119.494 peserta program tersebut dinilai tak tepat sasaran karena diterima oleh para pekerja yang memiliki gaji diatas Rp3,5 juta perbulan.
Hal itu diungkapkan Ketua BPK Isma Yatun saat membacakan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021 dalam Sidang Paripurna DPR RI, Selasa (24/5/2022).
"Bantuan program kartu prakerja kepada 119.494 peserta sebesar Rp289,85 miliar pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terindikasi tidak tepat sasaran," kata Isma.
Menurut Isma sebanyak 119 ribu peserta yang menerima paket bantuan sosial akibat Covid-19 ternyata memiliki gaji atau upaha diatas Rp3,5 juta perbulan.
"Karena diterima oleh pekerja/buruh yang memiliki gaji/upah di atas Rp3,5 juta," katanya.
Tak hanya itu, BPK juga menemukan permasalahan lainnya seperti halnya alokasi vaksin Covid-19, logistik, dan sarana prasarananya yang belum sepenuhnya menggunakan dasar perhitungan yang sesuai.
Seperti halnya memperhatikan perkembangan kondisi atau analisis situasi terbaru, data yang valid, akurat dan mutakhir, serta kurangnya koordinasi dengan pemda dan kementerian/lembaga lain yang terlibat.
IHPS II Tahun 2021 ini juga memuat hasil pemeriksaan keuangan, kinerja, dan DTT yang tidak termasuk dalam kelompok pemeriksaan prioritas nasional.
"Penting kami tekankan bahwa, BPK terus berupaya keras untuk mendorong terwujudnya tata kelola keuangan negara yang efektif, akuntabel, dan transparan sesuai ketentuan perundang-undangan dan praktik internasional terbaik," tegas Isma.