Suara.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bertekad untuk terus mendorong seluruh sektor manufaktur di Indonesia dalam penerapan prinsip industri hijau. Langkah strategis tersebut diyakini mampu mendukung terciptanya industri yang ramah lingkungan dan berdaya saing di kancah global.
"Standar Industri Hijau (SIH) memiliki 2 tujuan. Pertama, untuk peningkatan utilisasi industri yang berefek kepada peningkatan daya saing. Kedua, untuk pemenuhan komitmen bangsa ini dalam menjaga keberlangsungan bumi tempat tinggal kita," terang Kepala Pusat Industri Hijau, Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin, Herman Supriadi usai meninjau fasilitas produksi Baja Lapis Aluminium Seng (BJLAS) milik PT Tata Metal Lestari (Tatalogam Group) ditulis Jumat (10/6/2022).
Herman menjelaskan, industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Pada prinsipnya, industri hijau ini mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat dengan konsep perputaran ekonomi (Circular Economy).
Untuk itu, terkait perumusan SIH yang tengah dilakukan pemerintah Herman menjelaskan, ada 2 hal penting yang harus diperhatikan.
Baca Juga: Mulai Lupakan Batubara, TBS Energi Utama Bakal Fokus Kembangkan Proyek Energi Hijau
“Hal pertama terkait manajemen. Kemudian yang kedua dari sisi teknis. Teknis ini meliputi bahan baku, energi, proses produksi, penanganan limbah, dan lain sebagainya. Dalam proses penanganan limbah contohnya ini ada pilihan langkah, yaitu mendesain agar limbah ini jadi lebih sedikit atau dengan penanganan yang baik sehingga konsep circular economy terlaksana. Manajemen juga harus terkelola dengan baik dan transparan seperti manajemen energi, bahan baku dan lainnya yang terlibat dalam proses produksi. Diupayakan agar menggunakan bahan yang ramah lingkungan sehingga nanti limbahnya hanya sedikit. Energi yang digunakan juga jadi lebih sedikit. Hal ini merupakan upaya peningkatan manajemennya. Industri hijau itu ujungnya adalah efisiensi di sana sini,” terang Herman lagi.
Sementara itu, usai melihat secara langsung ke fasilitas produksi PT Tata Metal Lestari, Herman mengapresiasi penerapan Industri Hijau yang telah dilakukan oleh produsen BJLAS dan BJLS dengan merek dagang Nexalume, Tatalume dan Nexium itu. Mulai dari penerapan mesin berteknologi tinggi yang dapat meminimalisir munculnya emisi, hingga pengolahan limbah yang berdampak pada circular economy.
“Bagusnya di PT Tata Metal Lestari ini adalah mereka sudah menyiapkan hal infrastruktur Standar Industri Hijau. Dari yang saya lihat tadi, apalagi ditambah informasi dari pengusaha lain yang produknya sama, teknologi di Tata Metal ini sudah jauh lebih baik sehingga sudah menuju kearah industri hijau. Kemudian satu hal lagi yang menarik adalah mereka telah menerapkan prinsip 3P, yaitu People, Profit, Planet. Prinsip ini sesuai dengan konsep industri hijau,” Jelas Herman lagi.
Herman mengatakan, sudah menjadi tugasnya nanti untuk menentukan apakah standar yang telah dijalankan di PT Tata Metal Lestari bisa dijadikan acuan sebagai Standar Industri Hijau Nasional Baja Lapis atau tidak.
Untuk itu kedatangannya kali ini adalah untuk merumuskan Standar Industri Hijau yang bisa diterapkan secara nasional. Karena targetnya nanti, Standar Industri Hijau akan diwajibkan tidak hanya untuk industri BJLAS dan BJLS saja, namun untuk semua industri di tanah air ini.
Baca Juga: Tanggapi Isu Lingkungan, Kemenperin Berikan Dukungan Kepada Pengembangan Kendaraan Komersial Euro 4
“Kalau sebuah industri kita nilai sudah memakai konsep industri hijau dan sangat efektif diterapkan untuk semuanya, maka sudah menjadi tugas saya untuk menerapkan kepada semuanya. Karena Standar Industri Hijau (SIH) suatu saat akan diwajibkan. Menjadi wajib karena dianggap menguntungkan buat industri dalam negeri itu sendiri,” terang Herman lagi.
Di kesempatan yang sama, Vice President PT Tata Metal Lestari (Tatalogam Group), Stephanus Koeswandi sangat mengapresiasi langkah pemerintah sebagai regulator yang menaruh perhatian khusus pada perancangan dan penegakan Standar Industri Hijau untuk produk BJLAS dan BJLS yang saat ini tengah digodok.
Ia mengatakan, saat ini produk BJLAS sudah banyak digunakan dengan berbagai peruntukkan, seperti atap dan baja ringan. Karena itu, sektor industri ini juga harus sudah mulai memperhatikan dampak lingkungan yang timbul dalam proses produksinya.
“Dari sisi bisnisnya, produk yang sudah menerapkan Standar Industri Hijau akan dapat meningkatkan daya saingnya. Dapat digunakan di proyek-proyek strategis nasional, untuk perumahan, bahkan pasar global. Dari sisi kelestarian lingkungannya, Standar Industri Hijau yang tengah digodok pemerintah ini juga sejalan dengan program menuju 2050 Zero Carbon Emissions. Untuk itu kami sangat mengapresiasi pemerintah sebagai regulator yang sudah selangkah lebih maju dalam hal ini,” terang Stephanus.
Ia menjelaskan, berbagai upaya telah dilakukan perusahaan yang ia pimpin untuk menyokong target 2050 Zero Carbon Emissions melalui penerapan industri hijau. Langkah mendasar yang pertama dilakukan adalah dengan merubah Key Performance Indicator (KPI) perusahaannya.
“Yang pertama kami, PT Tata Metal Lestari dan Tatalogam Group lakukan adalah merubah KPI-nya. Yang tadinya hanya berfokus kepada 1 yaitu profit, kini kita rubah menjadi 3P yaitu People, Profit, Planet. Ini artinya perusahaan tidak hanya fokus mengejar keuntungan semata, namun juga menekankan pentingnya tanggung jawab kami terhadap lingkungan sekitar termasuk orang-orang yang terlibat dalam bisnis kami, dan tentunya terhadap planet bumi yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita nantinya,” terang Stephanus.
Ia melanjutkan, dari perubahan KPI itu kemudian mulailah dilaksanakan program kerja nyata. Contohnya mulai mengganti energi listrik yang tadinya menggunakan sumber daya konvensional, menjadi energi listrik tenaga surya. Untuk pabrik yang sudah ada, penggunaan listrik tenaga surya ini diakuinya sudah menggantikan listrik tenaga konvensional hingga 5-10 persen. Efisiensi ini pun terus ditingkatkan di pabrik baru mereka yang terletak di Sadang, Purwakarta.
“Untuk pabrik kami yang ada di Cikarang kami sudah bisa menggantikan 5-10 % dari penggunaan listrik konvensional. Dan saat ini kami sedang melakukan investasi baru di Sadang, Purwakarta dimana nantinya pabrik ini akan bisa membangkitkan 1 Mega Watt listrik dari total semua solar panel yang dibangun. Kemudian manajemen limbah juga sudah kami lakukan. Karena manajemen limbah ini salah satu faktor yang sangat penting dimana kita menganut circular economy yang artinya limbah ini bisa kita gunakan lagi atau paling tidak di daur ulang (recycle) hingga nantinya bisa berputar lagi dan bisa digunakan pada proses selanjutnya,” terang Stephanus lagi.
Pun demikian, Stephanus menambahkan, saat ini masih ada ancaman-ancaman yang dapat mengganggu upaya bangsa ini dalam mencapai target 2050 Zero Carbon Emissions. Salah satunya bisa datang dari investasi asing yang saat ini tengah marak masuk ke Indonesia.
“Seperti kita ketahui, Tiongkok saat ini juga tengah menggencarkan industri hijau dalam upayanya mencapai target 2050 Zero Carbon Emissions. Mesin-mesin produksi mereka yang sudah tidak layak karena menimbulkan cukup banyak emisi, banyak yang tak terpakai lagi. Disinilah ancaman itu muncul. Kita para pengusaha tidak ingin investasi baru yang masuk, menggunakan mesin-mesin yang notabene sudah tidak layak digunakan di negara asalnya karena masalah emisi,” terang Stephanus lagi.
Untuk itu Stephanus berharap pemerintah lebih selektif dalam menentukan investasi baru yang masuk ke tanah air ini. Dengan begitu, investasi baru yang masuk tidak akan mengganggu upaya global mencapai target 2050 Zero Carbon Emissions.