Suara.com - Rencana Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, untuk mengaudit seluruh perusahaan sawit didukung oleh serikat petani, aktivis lingkungan, hingga pengusaha setelah selama ini pemerintah dianggap "lalai" mengawasi sektor ini.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, mengatakan audit ini diharapkan akan membongkar perkebunan sawit yang belum memiliki hak guna usaha (HGU), tidak memenuhi kewajiban membangun plasma untuk masyarakat, hingga yang menggarap lahan di luar izin yang ditentukan pemerintah.
Tetapi, Darto ragu hasil audit ini akan ditindaklanjuti dengan penegakan hukum yang menimbulkan efek jera, lantaran evaluasi maupun audit yang pernah dilakukan sebelumnya "tidak ditindaklanjuti" oleh pemerintah.
"Audit yang dilakukan Pak Luhut ini seperti apa modelnya? Apakah betul itu akan dilakukan secara serius oleh pemerintah, mengingat selama ini penegakan hukum tidak berjalan maksimal," kata Darto kepada BBC News Indonesia, Kamis (26/5).
Baca juga:
- Apa itu ‘plasma’ dan mengapa perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia dituduh tak menyediakan kewajiban hukumnya?
- ‘Kami sudah sering dibohongi’ - Tiga generasi Suku Anak Dalam mengaku tertipu janji perusahaan sawit
- Kemenangan orang Dayak melawan perusahaan sawit, ‘Modal belajar dari penjara’
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh pegiat lingkungan dari Yayasan Auriga Nusantara, Wiko Saputra, yang mengaku "pesimistis" bahwa aparat penegak hukum "mau berhadapan dengan kejahatan korporasi yang dilakukan oleh aktor-aktor besar".
Namun audit ini, menurut Wiko menjadi momentum untuk mewujudkan transparansi data pengelolaan sawit, sehingga pengawasan dari masyarakat akan potensi pelanggaran dan penyalahgunaan Hak Guna Usaha (HGU) di masa depan bisa berjalan.
Luhut sebelumnya menyatakan akan mengaudit seluruh perusahaan sawit di Indonesia. Audit itu akan mencakup luas dari Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit, hak pengelolaan lahan, sistem produksi, hingga status dari perusahaan.
Dia ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo untuk menangani isu minyak goreng, setelah pemerintah memutuskan membuka kembali ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang sempat dilarang demi menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Baca Juga: Kemenangan Orang Dayak Lawan Perusahaan Sawit: Modal Belajar dari Penjara
Luhut menyatakan akan mengatasi persoalan ini dari hulunya. Dia juga menyoroti perusahaan sawit yang berkantor pusat di luar negeri, sehingga menghilangkan potensi pendapatan negara dari pajak.
Tetapi sejauh ini, Luhut belum menjelaskan lebih lanjut mengenai mekanisme dari audit ini.
BBC News Indonesia telah menghubungi Juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Jodi Mahardi, serta Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan, Septian Hario Septo, untuk meminta tanggapan terkait hal ini, namun tidak mendapat respons hingga berita ini diterbitkan.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Komisi IV yang membidangi kehutanan, Daniel Johan, menyatakan DPR akan mengawasi proses audit agar transparan dan ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tegas.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan "siap untuk diaudit".
Momentum memperbaiki tata kelola sawit
Darto mengatakan niat pemerintah untuk melakukan audit yang dipicu oleh isu minyak goreng ini sebagai "momentum untuk memperbaiki tata kelola sawit".
Audit ini diharapkan bisa membongkar perkebunan sawit tidak berizin yang jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 3,5 juta haktare dan selama ini dikategorikan sebagai perkebunan rakyat. Padahal luas lahannya yang melebihi 25 hektare mewajibkan pemiliknya mengantongi HGU.
Belum lagi penyalahgunaan kawasan hutan yang dilindungi, tumpang tindih perkebunan dengan lahan masyarakat adat, serta tidak berjalannya kewajiban pengusaha memenuhi kewajiban membangun lahan plasma sebesar 20% untuk masyarakat.
"Pertanyaan saya apakah audit ini akan mengakomodasi pengaduan-pengaduan yang sudah ada itu, misalnya lahan masyarakat digusur padahal sebenarnya izinnya tidak ada atau melebihi dari izin yang mereka peroleh, ini seperti apa penegakan hukumnya yang diambil pemerintah kalau memang audit ini dianggap serius?" tutur dia.
Dihubungi terpisah, pegiat lingkungan dari Yayasan Auriga Nusantara, Wiko Saputra, mengatakan ada dua hal yang setidaknya harus dihasilkan oleh audit pemerintah.
Pertama, transparansi data pengelolaan perkebunan sawit sehingga ada perbaikan pada tata kelolanya. Selama ini, pemerintah disebut tidak memiliki data yang valid terkait sawit.
Hal itu, kata dia, setidaknya tampak dari sengkarut minyak goreng sehingga akhirnya memicu pemerintah untuk mengaudit seluruh perusahaan sawit.
"Nggak pernah ada data yang akuntabel tentang sawit dari hulu ke hilir, misalnya berapa benih yang ditebarkan, berapa tandan buah sawit yang dihasilkan, kita enggak punya data valid. Padahal data-data itu penting dikuasai pemerintah sehingga kebijakannya berbasis data," ujar Wiko.
Selain itu, tidak pernah ada data yang bisa diakses oleh publik untuk memantau pengelolaan perkebunan sawit. Padahal, keterbukaan data dia sebut bisa memperkuat pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang kerap kali meminggirkan masyarakat adat dan petani kecil.
Kedua, Wiko berharap hasil audit ini nantinya diikuti dengan penegakan hukum terhadap korporasi yang terbukti melanggar. Tanpa penegakan hukum, dia mengatakan perbaikan tata kelola sawit akan percuma karena pelanggaran akan terus berulang.
Penegakan hukum diragukan
Meski berharap ada perbaikan tata kelola sawit, Wiko dan Darto meragukan bahwa penegakan hukum akan dilakukan secara tegas.
Sebab selama ini, penegakan hukum berdasarkan evaluasi maupun hasil audit terkait perusahaan sawit yang bermasalah dianggap "sangat lemah".
Darto mencontohkan ketika Badan Pengawas Keuangan (BPK) menerbitkan laporan hasil audit yang menunjukkan bahwa banyak perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar bermasalah pada Agustus 2019 lalu.
Tidak lama setelah itu, Menko Luhut juga menyatakan bahwa sekitar 81% perkebunan sawit tidak mematuhi aturan yang berlaku.
Namun Darto mengatakan "tidak ada" tindak lanjut yang jelas dari temuan tersebut.
Begitu pula ketika pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden mengenai moratorium izin sawit pada 2018 yang memerintahkan dilakukan evaluasi izin perkebunan sawit. Tetapi sampai moratorium itu berakhir pada Oktober 2021, evaluasi izin dianggap "belum berjalan baik".
"Hasil moratorium itu seharusnya kan bagian dari audit juga, tapi enggak ada hasilnya. Tidak berjalan sama sekali sesuai yang diperintahkan. Begitu juga temuan BPK semestinya ada penegakan hukum selanjutnya. Polisi dan kejaksaan juga harus mulai terbuka terkait ini," ujar Darto.
Baca juga:
- Moratorium kelapa sawit berakhir, UU Cipta Kerja ambil alih - apa dampaknya?
- Jokowi cabut larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya
- Lisensi keberlanjutan Korindo dicabut lembaga sertifikasi hutan
Sementara itu, Wiko dari Yayasan Auriga Nusantara menuturkan bahwa pemerintah selama ini "tidak pernah menjalankan" kewajiban untuk mengaudit perkebunan sawit, meski ada regulasi yang memungkinkannya, seperti Peraturan Menteri Pertanian tentang Penilaian Usaha Perkebunan.
Desakan untuk melakukan audit ini juga telah digaungkan sejak lama, tetapi baru pada sengkarut minyak goreng pemerintah akhirnya memiliki keinginan untuk mengaudit perusahaan sawit.
"Saya masih meragukan pemerintah bisa menyelesaikan ini. Saya juga belum dapat semacam optimisme pemerintah pasca-audit nanti mau masuk ke penegakan hukum. Dalam kasus minyak goreng misalnya, yang ditindak Kejaksaan Agung baru pemain level menengah," kata dia.
"Kalau diaudit keseluruhan, yang akan muncul adalah kejahatan korporasinya. Pertanyaannya apakah aparat penegak hukum kita mau berhadapan dengan para pemain atas itu?"
Selain itu, Wiko juga menyoroti rekam jejak Menko Luhut yang perusahaannya pernah terkait, meski secara tidak langsung, dengan bisnis sawit.
Perusahaan milik Luhut, PT Toba Sejahtera, memiliki anak perusahaan yakni PT Toba Bara Sejahtera.
PT Toba Bara Sejahtera (TBS) pada 19 Juni 2013 membeli mayoritas saham PT Perkebunan Kaltim Utama I yang memiliki total luas lahan sawit sebesar 8,633 hektare.
PT Toba Sejahtera, perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut, saat ini memiliki saham sebesar 10% atas PT TBS. Sebelumnya, PT Toba Sejahtera merupakan pemegang saham utama di PT TBS dengan kepemilikan sebesar 60%.
"Seharusnya presiden punya sensitivitas, ketika menunjuk satu Menteri terkait hal yang strategis, konflik kepentingan harus jadi pertimbangan. Pak Luhut sebelum jadi menteri kan punya perusahaan sawit, gimana nanti mekanisme audit yang dimiliki oleh Pak Luhut," ujar dia.
Pengusaha 'siap' diaudit
Sekretaris Jenderal GAPKI, Eddy Martono, menuturkan para pengusaha "siap" untuk diaudit dan mendukung rencana pemerintah tersebut.
"Kami sangat mendukung audit ini, supaya jelas datanya berapa sebenarnya produksi CPO. Selama ini kan belum jelas. Jadi untuk mengambil kebijakan ke depannya dasar datanya juga jelas," kata Eddy.
Menurut dia, hasil audit justru akan "melindungi" perusahaan dan memberikan kepastian hukum terkait sengketa lahan perkebunan.
"Contoh perusahaan masuk dalam kawasan hutan kan belum tentu salah perusahaan. Pada waktu minta izin dikeluarkan belum kawasan hutan, tahu-tahu berubah jadi kawasan hutan. Itu namanya keterlanjuran," tutur Eddy.
"Atau pemerintah daerah mengeluarkan izin, tahu-tahu pemerintah pusat beda lagi. Itu makanya kita berharap audit berjalan baik sehingga tidak ada perbedaan data antara pusat dan daerah."
"Jadi tidak hanya asal 'wah ini perusahaan ini nyerobot', tapi kan semua sudah clear izinnya tahun berapa HGU-nya keluar tahun berapa. Justru dengan adanya audit ini akan lebih jelas, perusahaan malah seharusnya lebih terlindungi dengan adanya audit ini," kata dia.
Terkait perusahaan-perusahaan sawit yang disebut Luhut berkantor di luar negeri dan "membayar pajaknya di luar negeri", Eddy mengatakan "perusahaan tidak mungkin tidak membayar pajak, karena pengurusan izin dan untuk mendapatkan HGU perusahaan harus berdiri di Indonesia".
Sementara itu, Daniel Johan mengatakan Komisi IV DPR akan segera menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas mekanisme dari audit ini.
Dia berjanji DPR akan mengawal pelaksanaan audit agar transparan dan hasilnya ditindaklanjuti secara transparan.
"Termasuk kita tanya nanti hasil auditnya mau diapain sebagai dasar melakukan kebijakan yang tegas. Misalkan kalau perusahaan melebihi izin yang seharusnya diambil, itu harus disita negara misalkan dan dikembalikan ke masyarakat lokal. Yang melanggar kita cabut saja izinnya," papar Daniel.