Pakar Harap Pemerintah Pertimbangkan Kebijakan DMO dan DPO: Beri Dampak Stok dalam Negeri

M Nurhadi Suara.Com
Senin, 23 Mei 2022 | 17:02 WIB
Pakar Harap Pemerintah Pertimbangkan Kebijakan DMO dan DPO: Beri Dampak Stok dalam Negeri
Minyak goreng kemasan yang dijual di pasar tradisional. (Dok. Pribadi/Elen)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Purwokerto Naelati Tubastuvi menilai, domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) bisa kembali diterapkan guna menjaga ketersediaan harga minyak goreng di dalam negeri.

"Kebijakan menutup keran ekspor CPO (Crude Palm Oil) beserta turunannya yang berlaku per tanggal 28 April 2022, hampir sebulan, dampak negatifnya pasti ada. Tapi diharapkan dengan ditutupnya keran ekspor kemarin itu bisa memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri dan saya kira kebijakan penutupan keran ekspor itu ibarat senjata pamungkas setelah pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan mulai dari harga eceran tertinggi dan ternyata tidak mempan juga," kata dia, Senin (23/5/2022).

Hal ini ia sampaikan usai pemerintah memutuskan kembali membuak ekspor CPO pada hari ini. Menurut dia, penutupan ekspor CPO kemarin memang memberi dampak ketersediaan minyak goreng dalam negeri.

Tuntutan dari petani kelapa sawit dan produsen CPO yang terhambat ekspornya, kata dia, memaksa pemerintah mengambil kebijakan untuk membuka kembali keran ekspor dengan mempertimbangkan kebutuhan pasokan minyak goreng dalam negeri yang sudah tercukupi.

Baca Juga: KPK Belum Mampu Tangkap Harun Masiku, Febri Diansyah: Sudah 27 Purnama

Selain itu, pertimbangan lainnya adalah tuntutan petani yang produk kelapa sawitnya tidak bisa terserap di pasar sehingga membusuk ditambah dengan mahalnya harga pupuk untuk tanaman kelapa sawit.

"Saya kira sudah waktunya dibuka karena ditutup terlalu lama banyak beban yang ditanggung oleh produsen-produsen CPO ini," kata Naelati dikutip dari Antara.

Ia menambahkan, jika melihat hitungan, potensi kerugian dari penutupan keran ekspor tersebut cukup besar karena berdasarkan data, kerugiannya kurang lebih Rp13 triliun dalam sebulan.

Dengan demikian, kata dia, neraca perdagangan devisa otomatis terganggu karena CPO merupakan salah satu komoditas yang memberikan kontribusi untuk devisa

"Jadi di sisi lain juga neracanya menjadi terganggu, sebulan saja ditutup, angkanya, informasinya Rp13 triliun (angka kerugian) dari pendapat cukai pajaknya, belum pendapatan dari produsennya yang masuk ke negara," kata dia.

Baca Juga: Larangan CPO Ekspor Dicabut, Harga TBS di Sumbar Masih Sulitkan Petani

Pemerintah, ujar dia, juga perlu berhitung dengan cermat dampak ketika keran ekspor CPO ditutup kemudian ketika dibuka, karena penutupan keran ekspor terlalu lama akan merugikan dan risikonya terlalu besar.

Terkait dengan langkah yang perlu dilakukan pemerintah agar kelangkaan minyak goreng tidak terulang kembali, Naelati menilai kebijakan lama yang diambil pemerintah dengan menetapkan DMO dan DPO masih dapat diterapkan.

Dia mengatakan dengan adanya skema DMO dan DPO berarti ada kewajiban dari produsen CPO untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri agar tetap terjaga, sehingga harganya terjangkau oleh masyarakat.

Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan DMO dijaga pada jumlah 10 juta ton minyak goreng yang terdiri dari 8 juta ton minyak goreng pasokan dan sebagai cadangan sebesar 2 juta ton.

"Saya kira kebijakan atau skema DMO dan DPO itu masih bisa dilanjutkan," ujarnya.

Namun demikian, dia mengatakan pemerintah perlu mengantisipasi kemungkinan adanya produsen yang menaikkan harga minyak goreng sebagai upaya menutup kerugian yang dialami selama penutupan keran ekspor CPO beserta turunannya meskipun ada DPO.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI