SPKS Minta Kejagung Selidiki Pemberian Subsidi Minyak Goreng dari Dana Sawit

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 21 April 2022 | 10:05 WIB
SPKS Minta Kejagung Selidiki Pemberian Subsidi Minyak Goreng dari Dana Sawit
Minyak kelapa sawit. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus telah menetapkan empat orang tersangka, terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya selam periode Januari 2021 hingga Maret 2022. Penetapan tersangka ini diumumkan pada 19 April 2022.

Keempat tersangka tersebut diantaranya Indrasari Wisnu Wardhana, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan; Parulian Tumanggor, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia; Togar Sitanggang, General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas, serta Stanle MA, Senior Manager Corporate Affairs PT Permata Hijau.

Menurut Mansuetus Darto, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), petani sawit Indonesia menyatakan dukungan dan apresiasi atas upaya yang dilakukan kejaksaan agung.

Petani sawit sebagai penghasil sawit Indonesia yang mengelola 6,7 juta ha merasa dirugikan sebab ikut merasakan harga minyak goreng yang tinggi, ironinya petani sebagai penghasil sawit.

Baca Juga: 4 Orang Jadi Tersangka Kasus Ekspor CPO, Pengamat Singgung Peran Kepolisian dan KPK

Selain itu, mafia minyak goreng ini telah mencoreng promosi perdagangan minyak sawit Indonesia dalam aspek sustainability sebab ketiga perusahaan tersebut adalah anggota dari Roundtable on Sustainable Palm Oil sebuah lembaga sertifikasi minyak sawit berkelanjutan dunia.

"Dengan segala harapan besar kami agar kejaksaan bisa menelusuri lebih dalam lagi keterlibatan aktor lainnya. Apalagi perihal minyak goreng ini, saling terhubung dari hulu hingga hilir," kata Mansuetus Darto dalam keterangannya, Kamis (21/4/2022).

Menurut Darto, perusahaan-perusahaan tersebut (Wilmar, Musim Mas, Permata Hijau) adalah perusahaan yang menguasai hulu hingga hilir. Sayangnya, negara tidak memiliki industri pengolahan minyak goreng dan negara sangat tergantung pada mereka.

Dengan begitu menurutnya, mereka memiliki kekuatan dan dapat menciptakan instabilitas politik, ekonomi dan keamanan. Kartelisasi ini, semestinya dievaluasi secara menyeluruh oleh pemerintah pada level kebijakan termasuk program Biodiesel (B30) yang dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan yang hampir sama.

"Karena itu, penanganannya harus komprehensif dan dapat memberikan solusi alternatif agar mereka tidak lagi berbuat suka-suka dikemudian hari," ucapnya.

Baca Juga: Dirjen Kemendag Jadi Tersangka Korupsi Ekspor CPO, Netizen Geram: Atasannya Diperiksa Juga, Pak

Selama ini, pemerintah cenderung membiarkan perusahaan pengolahan (refinery) memproduksi minyak goreng dengan mengacu pada harga internasional. Akibatnya harga minyak goreng sangat tinggi, dan perusahaan kerap menerapkan harga yang tidak wajar di pasar.

“Ketika pemerintah menerapkan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation—DMO), perusahaan Indonesia mestinya mendukung upaya ini, sebagai langkah perbaikan tata niaga. Sayangnya, kebijakan ini tidak dijalankan secara maksimal," ungkap Darto.

Selama kebijakan pengendalian pasar tersebut berlaku justru terjadi kelangkaan minyak goreng di tingkat pengecer. Baik di pasar ritel moderen maupun tradisional. Padahal kebijakan ini didukung dengan pemberian subsidi kepada produsen minyak goreng. Menyerah dengan kebijakan tersebut, pemerintah menyerahkan ke pelaku usaha untuk menetapkan harga berdasarkan nilai keekonomian.

“Akibatnya sampai hari ini, kita merasakan harga minyak goreng yang sangat tinggi” tambah Darto.

Kerugian Negara

Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS), merupakan badan layanan umum yang dimandatkan untuk mengelola dana perkebunan kelapa sawit, didapuk untuk menyalurkan subsidi minyak. Subsidi ini diterapkan selama kebijakan DMO.

Sementara penerima subsidi ditunjuk oleh Kementerian Perdagangan. Selama periode ini, BPDPKS menyalurkan subsidi sebesar 11,2 triliun, dengan dua tahap pembayaran. Pertama 3,6 triliun dan kedua sebesar 7,6 triliun.

Proses penyaluran pendistribusian subsidi ini tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Secara mandat, BPDPKS tidak memiliki kewajiban atau pun kewenangan menyalurkan subsidi untuk menstabilkan harga minyak goreng.

“Kami duga, pemberian subsidi ini terkait dengan peran konglomerat sawit (owner) yang duduk dalam komite pengarah selaku narasumber BPDP-KS dengan ke empat tersangka sebagai operatornya saja. Apalagi Indrasari Wisnu Wardhana, juga menduduki posisi sebagai Dewan Pengawas BPDPKS, sekaligus sebagai Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri,” ungkap Darto.

Darto menambahkan bahwa penyaluran subsidi ini patut diduga telah menimbulkan kerugian negara. Oleh karena itu, Kejasaan hendaknya melakukan pemeriksaan terhadap peran BPDPKS seluruh direksi dan Komite Pengarah yang membuat kebijakan.

"Apalagi menurut Permenperin No 8 tahun 2022, peran komite pengarah sangat sentral dalam pemberian subsidi dan konglomerat sawit duduk disana termasuk pendiri Wilmar Martua Sitorus. Ada konflik of interest, tentu saja," ucapnya.

Apalagi, BPDPKS ini sejak 2015 sampai 2021 terus memberikan keuntungan bagi perusahaan biodisel lewat subsidi, dengan total subsidi selama periode itu Rp110,05 triliun.

Beberapa perusahaan penerima subsidi tersebut adalah perusahaan yang tersangkut kasus minyak goreng, PT Wilmar Grup (menerima subsidi biodisel Rp39,52 triliun), PT Musim Mas Grup (Rp18,67 triliun), dan Permata Hijau Grup (Rp8,2 triliun).

Menurut Darto, adanya penetapan tersangka ini, harus dijadikan momen untuk mengevaluasi mekanisme penyaluran subsidi oleh BPDPKS, yang selama ini dinilai Darto tidak adil terhadap petani dan selalu menguntungkan korporasi.

Oleh sebab itu, menurut Darto, penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung, harus melihat lebih jauh keterlibatan aktor di pemerintahan maupun aktor korporasi.

Berdasarkan Perpres No. 13/2018, sangat memungkinkan diterapkan pada kasus ini. Sehingga kejaksaan dapat lebih maksimal lagi dalam mengungkap aktor-aktor yang terlibat dan mendapat manfaat dari dugaan tindak pidana ini.

Selain itu, kejaksaan diharapkan melihat peluang penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap perusahaan yang terlibat, sehingga upaya pemulihan kerugian ekonomi bisa lebih maksimal.

Untuk memaksimalkan upaya ini, menurut Darto, Kejaksaan bisa melakukan koordinasi lintas penegak hukum, termasuk malibatkan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sejak awal. Sehingga aliran transaksi keuangan yang mencurigakan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dapat terendus dengan maksimal.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI