Suara.com - Indonesia kini jadi salah satu negara dengan ekosistem perusahaan perintis atau startup terbanyak di dunia. Namun, meski dengan dukungan yang cukup ramah, sebuah riset ternyata menunjukkan 70 persen perusahaan keluarga tidak bisa bertahan hingga generasi kedua.
Dalam riset yang dilakukan perusahaan konsultan Daya Qarsa, penelitian berjudul it Setelah Pandemi: Mengembalikan Kesuksesan Perusahaan Keluarga Setelah Pandemi COVID-19 itu menunjukkan hanya sekitar 30% perusahaan keluarga di Indonesia yang mampu bertahan hingga generasi kedua.
Tidak hanya itu, bahkan dalam riset ini juga diperkirakan hanya 13% yang berhasil bertahan hingga ke generasi ketiga.
"Persentase yang kecil ini menunjukkan rintangan yang besar dalam menjaga keberlangsungan bisnis keluarga," kata Apung Sumengkar, Founder & Managing Partner (CEO) Daya Qarsa.
Baca Juga: Pembinaan Perusahaan Rintisan Harus Konsisten untuk Akselerasi Transformasi Digital
Tantangan terbesar pengusaha dalam penelitian ini adalah gelombang wabah virus corona yang hingga kini masih melanda berbagai belahan dunia.
"Sebanyak 47% responden menganggap pandemi Covid-19 sebagai kekhawatiran utama perusahaan keluarga saat ini," ujar dia, dikutip dari Warta Ekonomi.
Saat yang bersamaan, Daya Qarsa juga menemukan adanya empat hadangan utama lainnya yang mungkin jadi batu terjal bagi perusahaan di Indonesia, yaknim
Pertama, banyak bisnis yang mengalami penurunan valuasi dan sulit beradaptasi secara digital karena kondisi keuangan yang tertekan karena pandemi.
Dampaknya, perusahaan semakin kesulitan menjangkau konsumen hanya 13% yang berhasil bertahan hingga ke generasi ketiga.
Selanjutnya, pelayanan yang masih manual lantaran tak mendapatkan kesempatan digitalisasi membuat konsumen yang menuntut kemudahan transaksi kesulitan.
Hal ini juga diperparah dengan sistem kerja dan infrastruktur yang masih manual menyebabkan ketidaksiapan karyawan untuk menunjang kerja jarak jauh di masa pandemi.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut adalah pemimpin perusahaan keluarga yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya transformasi digital yang berdampak kepada lambatnya strategi digitalisasi perusahaan.
Pemimpin perusahaan masih kurang memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung proses operasional sehari-hari.
Ketiga, tantangan terkait kesehatan fisik maupun mental karyawan, serta membenahi budaya dan cara berpikir karyawan yang masih konvensional.
Terakhir, perencanaan manajemen perusahaan yang kurang maksimal serta tata kelola yang masih belum ditopang dengan sistem yang kuat jadi kelemahan.