Suara.com - Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab besar memajukan energi baru dan terbarukan (EBT). Indonesia berkomitmen mencapai Karbon Normal (Net Zero Emission) pada 2060 atau kalau bisa lebih cepat.
Untuk menuju ke sana, ada dua sasaran antara, yakni pencapaian bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan penurunan emisi gas ruang kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030.
Salah satu jenis EBT yang bisa menggantikan pembangkit tenaga uap (PLTU) sebagai pembangkit beban puncak (base-load) adalah pembangkit tenaga panas bumi (PLTP). Sumber daya panas bumi melimpah karena Indonesia berada di kawasan gunung api (ring of fire), pasokannya stabil, dan efisiensi konversi panasnya di atas 90 persen. Namun, masa pembangunannya lama, dan hal itu berakibat pada mahalnya harga listrik panas bumi.
Menurut Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi, peran pemerintah terutama untuk memperpendek masa pengembangan pembangkit panas bumi agar harga jual listrik lebih murah dan feasible bagi pengembang.
“Kalau mengikuti bussines as usual waktu penggarapan panas bumi bisa sampai 12 tahun. Kalau waktunya bisa dikurangi 4-5 tahun, itu bisa menurunkan harga jual listrik,” kata Prijandaru ditulis Senin (18/4/2022).
Dia mencontohkan tender PPA (purchasing power agreement) dengan PLN bisa tiga tahun dan juga perizinan di semua level juga lama.
“Pengembang tidak bisa bertahan dalam situasi seperti itu karena harus menanggung cost sampai 10-12 tahun, sementara pendapatannya baru muncul di tahun ke-11, bahkan bisa di tahun ke-14. Kalau bisa dikurangi 4-5 tahun, itu akan sangat membantu pengembang, sekaligus bisa menurunkan harga listrik dari panas bumi,” kata Prijandaru.
Direktur Panas Bumi, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris Yahya mengatakan, ada enam poin yang bisa mempercepat pengembangan EBT di Indonesia, yakni Rancangan Perpres tentang harga EBT, Penerapan Permen ESDM tentang PLTS Atap, Mandatori bahan bakar nabati (BBN), pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, kemudahan perizinan usaha, dan mendorong demand ke arah energi listrik.
Empat dari enam poin itu berada di wilayah pemerintah. Dua lainnya, yakni mandatori BBN ada di ranah produsen BBM, dan mendorong demand bergantung pada konsumen.
Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Pengembangan EBT Butuh Banyak Tenaga Kerja
“Konsumen kita minta untuk menggunakan peralatan listrik seperti kendaraan listrik dan kompor listrik karena LPG pun masih kita impor, sampai 70 persen. Harga LPG ini juga rentan jika ada gangguan suplai seperti sekarang ini,” kata Harris Yahya dalam sebuah Webinar.