Suara.com - Utang yang menumpuk membuat Sri Lanka mengalami krisis terbesar sepanjang sejarah negara itu. Ribuan warga negara itu kabarnya menggelar unjuk rasa menuntut pemerintah mundur.
Sri Lanka sejatinya negara yang cukup berkembang beberapa tahun sebelumnya. Ekspor teh dan grafit dari Sri Lanka dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
Namun, ketergantungan negara itu pada produk impor, termasuk kebutuhan penting seperti pupuk dan bahan bakar membuat mereka merasakan getah di belakang.
Akibat ketergantungan impor, situasi ekonomi global, terutama kenaikan harga energi yang kian meroket akibat perang Rusia dan Ukraina membuat Sri Lanka kalang kabut.
Baca Juga: Partai-partai Politik Indonesia Akrab dengan Partai Komunis China
Nilai tukar uang Sri Lanka juga terus anjlok hingga harganya tak bernilai. Ditambah lagi, cadangan devisa negara itu sudah tidak tertolong.
Cadangan devisa saat ini diperkirakan hanya 1,72 miliar dolar AS, dan berpotensi terus turun. Dampaknya, Sri LAnka kini semakin kesulitan membayar utang negara.
Pada Selasa (12/4/2022) lalu, Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) mengumumkan gagal bayar, US$ 51 miliar terhadap utang luar negeri.
"Kami kehilangan kemampuan untuk membayar," kata Kepala CBSL Nandalal Weerasinghe dikutip via Reuters.
"Kami harus fokus untuk mengimpor kebutuhan pokok. Bukan membayar utang luar negeri. Kita sudah sampai di titik membayar utang menjadi sangat menantang dan tidak mungkin," ujarnya lagi.
Baca Juga: Fantastic Beast 3 Rilis di China, Dialog Terkait Gay Dihapus
Hingga akhir tahun lalu, utang Sri Lanka memiliki utang luar negeri mencapai 50,72 miliar dolar AS. Jumlah ini sudah 60,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Peran China dalam Utang Sri Lanka
China menjadi sosok besar di balik gunungan utang Sri Lanka. Negeri tirai bambu merupakan pemberi pinjaman besar saat Sri Lanka dengan gencarnya membangun infarstruktur proyek sejak 2005 silam. Salah satunya pembangunan pelabuhan Hambantota.
Sri Lanka meminjam uang dari China dengan skema Belt and Road (BRI). Mengutip Times of India, total utang Sri Lanka ke China mencapai US$ 8 miliar. Sekitar 1/6 dari total utang luar negerinya.
Proyek yang memakan dana jumbo itu akhirnya tidak memberi manfaat bagi Sri Lanka, bahkan cenderung membuat rugi.
"Dari awal, kecerobohan meminjam dari China buat infrastruktur yang tak menguntungkan membuat negara itu di titik ini," tulis media itu mengutip laporan Hong Kong Post.
Sri Lanka sendiri sudah berkali-kali meminta China untuk restrukturisasi utang. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh China.
Selain China, Sri Lanka juga memiliki utang pada India dan Jepang. Komoditas andalan Sri Lanka seperti teh dan grafit nampaknya tidak bisa mengimbangi minus ekonomi negara itu.
Ditambah lagi, wabah virus corona (COVID-19) membuat pariwisata selaku andalan ekonomi Sri Lanka semakin terpuruk.
Ancaman Utang China ke Indonesia
Indonesia sepatutnya belajar dari Sri Lanka. Pasalnya, berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) periode Februari 2022, China merupakan pemberi utang terbesar keempat bagi Indonesia, di bawah Singapura, Amerika Serikat (AS), dan Jepang.
Utang Indonesia ke China saat ini mencapai US$ 20,78 miliar. Naik 0,76% dari bulan sebelumnya (month-on-month/mtm).
Padahal, utang Indonesia ke negara lain seperti Singapura, AS dan Jepang justru turun. Dari sisi mata uang, utang luar negeri (ULN) terbanyak masih dalam dolar AS. Per Februari 2022, ULN berdenomisasi dolar AS tercatat US$ 275 miliar.
Kemudian disusul euro dengan nilai ekuvalen US$ 25,15 miliar. Yen Jepang menempati peringkat ketiga (US$ 24,82 miliar) dan yuan China berada di posisi empat (US$ 4,31 miliar).