Suara.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa tantangan perekonomian pada tahun 2023 akan lebih menantang, sejumlah faktor yang membuat perekonomian lebih menantang seperti halnya dampak perang antara Rusia-Ukraina terhadap sejumlah harga komoditas global.
Sri Mulyani pun memprediksi bahwa proses pemulihan ekonomi pada tahun depan bakal melemah.
"Namun tahun depan akan muncul suatu risiko baru dari sisi munculnya perang di Ukraina dan ketegangan geopolitik yang telah menyebabkan kenaikan harga-harga komoditas dan kemudian mendorong inflasi tinggi di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sekarang ini negara maju," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Usai Ratas Rancangan Rencana Kerja Pemerintah dan Pagu 2023 di Istana Negara, Kamis (14/4/2022).
Menurut Menkeu, kenaikan komoditas dan inflasi yang tinggi menyebabkan pengetatan kebijakan moneter baik dari sisi likuiditas maupun suku bunga yang kemudian akan menimbulkan potensi volatilitas arus modal dan juga nilai tukar serta tekanan pada sektor keuangan.
Baca Juga: Komoditas Energi dan Komoditas Pangan akan Naik, Menko Airlangga: Pemerintah Perlu Memitigasi Risiko
"Hal-hal tersebut akan kemudian menghasilkan pemulihan ekonomi yang melemah secara global," katanya.
Berdasarkan proyeksi berbagai lembaga OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah 1 persen dari tadinya 4 sampai 5 persen menjadi hanya 3,5 persen pada tahun tersebut.
Sementara Bank Dunia juga merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi dari 4,4 persen ke 3,5 persen. Kemudian WTO juga meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah dari 4,4 persen ke 3,1 hingga 3,7 persen.
Sementara itu, dari inflasi justru akan mengalami kenaikan diperkirakan menurut Bank Dunia inflasi di negara-negara Advance akan naik dari 3,9 persen ke 5,7 persen sedangkan di negara-negara emerging market akan mengalami tekanan inflasi dari 5,9 persen ke 8,6 persen.
"Nah kondisi ini tentu akan menimbulkan dampak yang sangat rumit," katanya.
Baca Juga: Menkeu: Peringkat Daya Saing RI Masih Rendah Dibandingkan Negara Asean
Saat ini, kata Sri Mulyani di berbagai belahan dunia sudah mengalami tekanan atau bahkan krisis pangan akibat kenaikan harga komoditas seperti di middle east atau Timur Tengah dan Afrika Utara, di mana mereka mengimpor 80 persen dari makanan atau berbahan dasar gandum yang berasal dari Rusia dan Ukraina.
"Sekarang mereka menghadapi situasi tekanan terhadap supply makanannya," katanya.
Dan ini terjadi pada saat sesudah dua setengah tahun mengalami pandemi. Demikian juga dengan sub-sahara Afrika yang dalam hal ini juga mengalami tekanan akibat kenaikan harga-harga dari pangan.
"Nah oleh karena itu untuk tahun depan ada beberapa hal yang perlu untuk kemudian dipertimbangkan dan dimasukkan di dalam desain APBN."