Suara.com - Momen Presidensi G20 ini, Indonesia diminta lebih aktif untuk meredam perang antara Rusia dengan Ukraina dengan tetap memfokuskan pertemuan G20 pada pemulihan ekonomi dari dampak COVID-19.
"Indonesia bisa mencoba menggandeng seluruh pihak agar terjadi cooling down soal perang. Posisi Indonesia sebagai Presidensi dianggap netral atau tidak berpihak, itu keuntungan kita," kata engamat Centre of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira kepada Antara, Jumat (8/4/2022).
Indonesia juga harus bisa meyakinkan Amerika Serikat yang mengancam melakukan pemboikotan, terkait dengan kedatangan Vladimir Putin.
Serta memastikan bahwa forum G20 merupakan forum kerjasama ekonomi yang justru dapat meredam perang.
Baca Juga: Momen Timnas Futsal Indonesia Bantai Myanmar 5-1 di Piala AFF
"Indonesia harus meyakinkan AS maupun Rusia bahwa forum G20 merupakan forum kerjasama ekonomi dan justru dengan kerjasama ekonomi masalah konflik perang bisa diredam. Ini akan untungkan kedua belah pihak termasuk Ukraina," katanya.
Kerjasama menjaga inflasi global, memitigasi kenaikan suku bunga, mendorong pembiayaan hijau, dan mengatasi gap investasi kesehatan jangka panjang seharusnya dapat diikuti oleh seluruh negara anggota G20 tanpa terkecuali.
Namun demikian, Indonesia juga perlu mengantisipasi skenario terburuk dimana Amerika Serikat membatalkan kehadiran di side meeting maupun forum puncak G20 karena kedatangan Putin, terutama apabila perang antara Rusia dengan Ukraina terus berlanjut.
"Alhasil diskusi dan kesepakatan yang ada di forum G20 bisa tidak diimplementasikan. Bahkan G20 sendiri bisa vakum," kata dia.
Telrebih, jika perang berlanjut, harga komoditas, terutama bahan pangan dan energi, dapat semakin melambung sehingga merugikan negara berkembang dan miskin dengan kapasitas fiskal terbatas.
Baca Juga: Kehadiran Rusia di G20 Ditolak Sejumlah Negara, Kremlin Tegaskan Indonesia Sebagai Tuan Rumah
Dampaknya, komitmen negara-negara anggota Forum G20 untuk memulihkan perekonomian global yang berkelanjutan juga dapat tidak tercapai.
"Masyarakat dunia yang berharap perang segera usai harus menanggung penderitaan ekonomi panjang. Jumlah orang miskin dan pengangguran akan naik signifikan," pungkasnya.