Suara.com - Harga minyak melemah pada perdagangan Kamis (7/4/2022), menambah kerugian pada pekan ini. Pelemahan ini dipicu sanksi baru larangan ekspor energi yang di dapat Rusia dari negara-negara Barat.
Harga juga tertekan oleh kekhawatiran penguncian di China akibat gelombang baru Covid-19 akan memperlambat pemulihan permintaan minyak.
Mengutip CNBC, Jumat (8/4/2022) harga minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup turun 49 sen, atau 0,5 persen menjadi USD100,58 per barel. Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), berkurang 20 sen, atau 0,6 persen menjadi menetap di posisi USD96,03 per barel.
Pada sesi sebelumnya, kedua patokan tersebut anjlok lebih dari 5 persen ke level penutupan terendah sejak 16 Maret.
Baca Juga: IEA Lepas 120 Juta Barel, Harga Minyak Dunia Anjlok 5 Persen Lebih
Diplomat top Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan pada pertemuan NATO bahwa langkah-langkah terbaru Uni Eropa, termasuk larangan batu bara Rusia, dapat disahkan pada Kamis atau Jumat, dan selanjutnya blok tersebut akan membahas embargo minyak.
Namun, larangan batu bara akan berlaku penuh mulai pertengahan Agustus, sebulan lebih lambat dari yang direncanakan semula.
"Tidak ada yang mau mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu yang sulit, dan sanksi energi Rusia, yang menopang pasar," kata Bob Yawger, Direktur Mizuho.
India melanjutkan pembelian impor minyak mentah Rusia yang di diskon, mendorong apa yang diperkirakan analis akan kehilangan 2 juta hingga 3 juta barel per hari minyak Rusia dari pasar global.
"Meski kerugian seperti itu masih mungkin terjadi setelah kontrak bergulir dan kebutuhan pengilangan atau penyimpanan yang diperlukan India terpenuhi, perkembangan seperti itu masih bisa berminggu-minggu jika tidak beberapa bulan lagi," kata Jim Ritterbusch, Presiden Ritterbusch and Associates LLC di Galena, Illinois.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Melemah Usai Dolar AS Menguat Selama 4 Hari
Sementara di China, wabah virus mendorong penguncian yang meluas di Shanghai, kota terpadat.
"Kondisi permintaan di China benar-benar tidak terlihat bagus, terutama ketika kita memiliki begitu banyak pasokan baru di pasar," kata John Kilduff, mitra di Again Capital LLC, New York.