Suara.com - Lembaga peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebut, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif tol akan membuat harga kebutuhan pokok naik hingga memengaruhi daya beli masyarakat.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan bahwa kenaikan harga kedua komponen tersebut dapat menambah biaya logistik yang berkontribusi besar dalam proses distribusi pangan.
Menurutnya, pemerintah perlu memastikan komoditas pangan tersedia di pasar dengan harga yang terjangkau untuk meminimalkan dampak dari kenaikan BBM dan tarif tol.
"Kenaikan harga akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Dengan daya beli yang menurun, masyarakat akan mengurangi belanja. Padahal belanja rumah tangga, bersama konsumsi pemerintah, merupakan komponen pertumbuhan ekonomi negara yang relatif dapat didorong oleh pemerintah dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian nasional di saat-saat sulit seperti sekarang ini," katanya, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (5/4/2022).
Baca Juga: Wacana Harga Pertalite dan Gas Elpiji 3 Kg Naik, PKS: yang Miskin Makin Miskin
Ia menjelaskan, biaya logistik berkontribusi sekitar 20-30 persen pada harga pangan. Faktor geografis dan luasnya wilayah Indonesia juga berperan pada hal ini. Sentra-sentra produksi pangan banyak terkonsentrasi di satu wilayah, yaitu Pulau Jawa.
Dampaknya, dibutuhkan proses pengiriman yang cukup panjang untuk mencapai wilayah lain di Indonesia.
Ia menambahkan, sejumlah faktor penyebab tingginya harga pangan di antaranya adalah tantangan-tantangan produksi pertanian, seperti perubahan iklim, belum memadainya infrastruktur pendukung pertanian, kurangnya penggunaan teknologi, berkurangnya lahan pertanian, berkurangnya jumlah petani dan rendahnya produktivitas pertanian.
Selain itu, produk pertanian juga harus melalui rantai distribusi yang panjang. Panjangnya rantai distribusi menyebabkan, salah satunya, tingginya biaya logistik yang pada akhirnya akan memengaruhi harga jual di tingkat konsumen.
Industri pengolahan makanan dan minuman pun mengalami tantangan tersendiri, seperti banyaknya regulasi yang menambah ongkos dan adanya keterbatasan impor bahan baku.
Baca Juga: Air Mata Puan Maharani Saat Tolak BBM Era SBY Disorot, Pengamat: Pencitraan Semata
Kementerian Pertanian, kata dia, perlu memperbaiki produktivitas pertanian dan meningkatkan investasi baik publik maupun swasta untuk ke pertanian, bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk mengembangkan sistem irigasi pertanian dan infrastruktur.
Perkembangan sektor pertanian harus juga diikuti oleh kebijakan perdagangan pangan yang berorientasi pada kepentingan konsumen, lewat penyederhanaan regulasi impor sehingga bisa memastikan akses masyarakat ke komoditas pangan dengan yang terjangkau.
“Pemerintah perlu merespons kebutuhan pangan dengan memperhatikan semua faktor, termasuk daya beli dan keterjangkauan masyarakat. Impor sebagai instrumen jangka pendek perlu dibuat sesederhana mungkin supaya dampaknya terasa. Di saat bersamaan, program untuk meningkatkan produktivitas pertanian dapat dilakukan lewat intensifikasi dan memaksimalkan akses petani pada input pertanian berkualitas,” pungkas Felippa.