Suara.com - Bank Dunia menyatakan bahwa perang di Ukraina menambah ancaman pemulihan ekonomi yang makin tidak merata setelah hantaman Covid-19 di negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia.
Perang menambah tekanan terhadap perekonomian yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, pengetatan keuangan di Amerika Serikat, dan kemunculan kembali gelombang pandemi di tengah kebijakan nol-covid di China.
Dalam laporan Bank Dunia berjudul Update Perekonomian Asia Timur dan Pasifik: Menerjang Badai yang dikutip Selasa (5/4/2022) kejutan yang ditimbulkan oleh perang di Ukraina dan sanksi terhadap Rusia mengganggu pasokan komoditas, meningkatkan tekanan keuangan, dan menghambat pertumbuhan perekonomian global.
Negara-negara di kawasan ini yang sebagian besar adalah pengimpor bahan bakar, seperti Mongolia dan Thailand, dan pengimpor makanan, seperti Kepulauan Pasifik sedang mengalami penurunan pendapatan riil.
Baca Juga: Fortnite Sumbang Rp 2 Triliun sebagai Bantuan ke Ukraina
Negara-negara dengan hutang yang besar, seperti Republik Demokrasi Rakyat Laos serta Mongolia, serta negara-negara yang sangat bergantung kepada ekspor, seperti Malaysia dan Vietnam rentan terhadap kejutan-kejutan keuangan dan pertumbuhan di tingkat global.
“Tepat pada saat perekonomian di Asia Timur dan Pasifik mulai pulih dari kejutan yang disebabkan oleh pandemi, perang di Ukraina menjadi beban bagi momentum pertumbuhan,” ucap Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Manuela V. Ferro.
Manuela menambahkan landasan yang kuat serta kebijakan yang baik yang umumnya diterapkan di kawasan ini seharusnya dapat membantu menghadapi badai kali ini.
Di saat para produsen komoditas dan negara-negara yang menerapkan kebijakan fiskal secara berhati-hati mungkin lebih siap dalam menghadapi berbagai kejutan tersebut, akibat dari rangkaian kejadian belakangan ini akan menghambat prospek pertumbuhan di sebagian besar negara di kawasan ini.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan melambat menjadi 5 persen pada tahun 2022, 0,4 poin persentase lebih kecil dari pada yang diharapkan dicapai saat Oktober lalu. Jika kondisi global memburuk dan respons kebijakan nasional lemah, maka pertumbuhan dapat melambat hingga 4 persen.
Baca Juga: Pemerkosaan dan Kekerasan Seksual Jadi Momok Bagi para Perempuan di Ukraina Akibat Invasi Rusia
China, yang berkontribusi sebesar 86 persen dari output regional, diperkirakan mengalami pertumbuhan sebesar 5 persen pada baseline atau 4 persen pada skenario menurun (downside scenario). Output dari bagian lainnya di kawasan ini diperkirakan meningkat menjadi 4,8 persen pada baseline atau 4,2 persen pada skenario menurun.
Pada skenario menurun, terjadi penambahan sebanya 6 juta orang yang akan tetap tetap berada dalam kemiskinan pada tahun 2022 dengan garis kemiskinan pada US$5,50/ hari.
"Perang, pengetatan keuangan, dan pelambatan di China berpeluang memperparah berbagai kesulitan pasca-COVID yang sedang dihadapi saat ini," kata laporan tersebut.