Suara.com - Pengamat Asuransi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Kapler Marpaung menegaskan, Asuransi Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah bukan saja penting, tetapi sangat penting.
Hal ini mengingat jumlah aset negara berupa bangunan, infrastruktur, kendaraan dan aktiva bergerak dan tidak bergerak lainnya sangat besar nilainya.
"Disisi lain risiko yang mengancam aset negara ini juga cukup beragam exsposurenya, mulai dari risiko bencana alam sampai risiko non-katastropik lainnya," ujarnya ditulis Selasa (22/3/2022).
Kapler memaparkan, manfaat lain dari Asuransi Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah adalah untuk membantu pengelolaan keuangaan negara khususnya pengeluaran apabila ada kerusakan atau kerugian yang jumlahnya besar sementara anggaran tidak tersedia.
Baca Juga: Bimbang Ikut Asuransi Jiwa Unit Link? Ini Tips Agar Pilihan Tak Penuh Risiko
Lebih dari pada itu, pemerintah memang dituntut menjadi pionir dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, korporasi akan pentingnya berasuransi.
"Nah, kalau pemerintah sudah memikirkan ini, kan bagian dari tugas dan peran pemerintah untuk ikut membangun industri asuransi melalui edukasi kepada masyakarat akan pentingnya asuransi," jelasnya.
Dosen Program MM- Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini mengakui, progres dari Asuransi Barang Milik Negara sampai saat ini memang belum terlihat signifikan, apalagi jika membandingkan dengan potensi aset atau jumlah kekayaan negara yang dapat diasuransikan yang menurut data mencapai sekitar Rp 5.948 triliun (2019).
Berdasarkan data 31 Agustus 2021 jumlah premi yang dihimpun oleh konsorsium asuransi baru sekitar Rp 49,13 miliar, untuk Uang Pertanggungan sebesar Rp 32,41 triliun.
"Artinya jumlah aset negara yang baru diasuransikan baru sebesar 0,54 %, atau belum mencapai 1 % dari jumlah aset," paparnya.
Baca Juga: Bermobil di Tengah Cuaca Ekstrem, Persiapkan Kendaraan dan Asuransi dengan Seksama
Tapi ini mungkin karena sejak mau dimulai program asuransi Barang Milik Negera tahun 2019 lalu, kita bahkan dunia menghadapi Covid-19 yang tentunya APBN terpaksa dialokasikan untuk biaya-biaya pencegahan covid-19.
"Diharapkan mulai tahun 2022 ini dan khususnya tahun 2023 progressnya bisa mencapai 2 digit," tambahnya.
Kapler mengungkapkan, cara untuk mempercepat program Asuransi Barang Milik Negara dan Daerah, yakni, agar peraturan lebih dipertegas lagi , baik Keputusan Menteri Keuangan maupun Peraturan Pemerintah. Mungkin bisa dibuat lebih tegas.
"Kalau kita baca pasal 4 (ayat 1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara, kan hanya dikatakan “Barang Milik Negara dapat diasuransikan” demikian juga pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Pengeloloaan Barang Milik Negara/Daerah juga hanya mengatakan “Pengelola dapat menetapkan kebijakan asuransi”.
"Tapi mungkin dari aspek pengelolaan negara pasal PMK dan PP ini dianggap sudah cukup dan tidak menimbulkan ambigui. Hal lain adalah APBN dan APBD tidak ragu-ragu lagi menganggarkan biaya premi asuransi sesuai dengan nilai asset negara," jelasnya.
Terkait perkiraan pertumbuhan asuransi barang milik negara, ujar Kapler, maka hal tersebut sangat berbeda jika hendak membuat rencana kerja berkaitan dengan target korporasi di sektor swasta. Target pertumbuhan premi di asuransi aset negara sangat tergantung dari kesediaan anggaran yang sudah masuk di APBN dan APBD.
"Menurut perhitungan saya berdasarkan jumlah perolehan premi selama ini, maka proyeksi pendapatan premi atas Asuransi Mikil Nagara untuk Harga Pertangungan Rp.5.949 Triliun akan bisa mencapai sebesar Rp10 triliun," urainya.
"Pertanyaan sekarang apakah Menteri Keuangan akan menganggarkan pada APBN anggaraan biaya premi asuransi sebesar itu langsung dalam satu tahun?," tanyanya.
Kapler memperkirakan pemerintah akan menggarkan secara ber-angsur, bisa selesai dalam lima atau sepuluh tahun kedepan. Menang tidak cukup hanya bangunan tapi juga infrastruktur lainnya. Mengingat infrastruktur juga nilainya sangat besar dan risk exposure yang dihadapi juga sangat tinggi.
"Jalan, jembatan, bendungan, irigasi itu kan obyek strategis yang juga perlu dilindungi dari risiko dan perlu dianggarkan biaya perbaikannya melalui mekanisme asuransi," tandasnya.
Bahkan, sambung Kapler, intangible aset atau kepentingan lainnya juga perlu diasuransikan.Yaitu asuransi Tanggung Gugat. Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan atau mengoperasikan asetnya bisa saja terjadi kelalaian atau kesalahan dan mengakibatkan masyarakat atau pihak ketiga mengalami kerugian (property damage atau bodily injury).
"Dalam hal ini kan pihak ketiga atau masyarakat bisa menuntut pemerintah dan pemerintah tidak boleh mengelakkan tanggungjawabnya," jelasnya.
Lebih lanjut Kapler mengatakan, industri asuransi nasional khususnya yang ikut dalam anggota konsorsium layak mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang telah membuat kebijakan dengan memberikan pemasukan premi kepada perusahaan asuransi.
"Ini kan boleh dibilang semacam asuransi wajib (mandatory). Kalau biasanya asuransi wajib dilakukan oleh asuransi sosial (BUMN), maka asuransi barang milik negara ini melibatkan banyak perusahan asuransi swasta. Boleh dibilang sekitar 75% perusahaan asuransi kerugian nasional ikut serta dalam anggota konsorsium," paparnya.
Kapler meminta anggota konsorsium harus bisa membantu pemerintah bagaimana agar proses penutupan asuransi bisa lebih mudah administrasi proses penutupan asuransinya tanpa harus melupakan prinsip dasar dalam asuransi seperti risk assessment. Anggota konsorium harus benar-benar membayar ganti rugi apabila kelak terjadi klaim.
Lebih dari pada itu anggota konsorsium harus juga memberikan edukasi kepada Kementerian atau Lembaga Negara apa peran dan tanggungjawabnya sebagai Tertanggung, jangan sampai Kementerian dan Lembaga merasa bahwa kalau sudah ada asuransi, klaim pasti dibayar.
"Posisikan dan perlakukan Kementerian dan lembaga ini sebagai tertanggung sewajarnya dan obyektif. Jangan nanti gara-gara merasa sudah diberikan bisnis asuransi, prinsip -prinsip asuransi diabaikan dan menimbulkan konflik," tegasnya.
Anggota konsorsium, sambung Kapler, perlu juga mencatat, bahwa banyak kementerian dan lembaga negara yang sebenarnya kuranng dalam melakukan maintenance atas asetnya. Kalau poor maintenance dan housekeeping itu kan artinya exposurenya tinggi.
"Ya seperti yang saya katakana diatas,, peraturan perundangannya dibuat saja lebih tegas. Pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Pemerintah, buat saja lebih tegas. Era kekuasaan kan tidak ada yang abadi dan pasti, yang pasti adalah pasti ada perubahan," pungkasnya.