Suara.com - Penyesuaian harga bahan bakar minyak Pertamax yang dilakukan Pertamina dianggap tepat dan wajar agar beban BUMN tersebut tidak semakin berat. Terlebih, pertamax adalah BBM nonsubsidi sehingga dapat mengikuti harga pasar.
Disampaikan oleh Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) David E Sumual, penyesuaian harga Pertamax, bisa dengan membandingkan dengan pesaing Pertamina.
"Pertamax dan Pertalite kan tidak dalam posisi harga minyak (mentah) sekarang," ujarnya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (18/3/2022).
Ia berpendapat, perbedaan harga Pertamax dan Pertalite dengan harga pasar saat ini sekitar 20-40 dolar AS per barel, bergantung pada pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS, yakni saat ini antara Rp14.200-Rp14.400 per dolar AS.
“Sekali lagi, ini bergantung pada kursnya di berapa, harga minyak global kira-kira berapa? Sedangkan badan usaha lain sudah mengikuti dua variabel utama ini,” katanya.
Ia mengatakan, volume penjualan Pertalite saat ini sudah paling tinggi. Dengan mobilitas masyarakat yang semakin baik, konsumsi Pertalite juga akan terus meningkat.
Semakin tinggi volume, beban yang harus ditanggung Pertamina juga akan semakin besar. Apalagi tanpa ada kenaikan harga Pertamax yang tidak disubsidi karena dikonsumsi masyarakat mampu.
Ia lantas mengasumsikan baseline skenario harga minyak sekitar 130-an dolar AS per barel paling tinggi dan bertahan di level tersebut hingga akhir tahun.
Sementara kurs rupiah terhadap dolar AS sekitar Rp14.600-an. Beban tambahan yang ditanggung Pertamina bisa mencapai Rp200-an triliun paling sedikit dalam setahun. Kondisi ini akan bergerak terus seiring pergerakan kurs dan harga minyak global.
Baca Juga: Digunakan Masyarakat Mampu dan Industri Besar, Harga BBM Nonsubsidi Ikuti Mekanisme Pasar
"Pertamina memang butuh suntikan likuiditas dan mereka sudah kelihatan beberapa kesempatan menyampaikannya," kata David.