Suara.com - Harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dijual Pertamina saat ini menjadi paling murah di kelasnya. Hingga awal Maret 2022, BBM dengan kadar oktan (RON) 92 itu dijual Rp9.000 per liter di sejumlah daerah di Tanah Air, jauh di bawah harga produk BBM RON 92 lainnya dari pesaing Pertamina yang berkisar Rp11.900-Rp12.990 per liter. Apalagi, harga Pertamax juga tidak pernah naik sejak lebih dari dua tahun terakhir.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan secara regulasi Pertamina sangat berpeluang menyesuaikan harga Pertamax. Kenaikan harga Pertamax mendekati harga produk sejenis dari perusahaan lain tidak akan menjadi masalah karena dampak terhadap inflasi seharusnya terkendali.
“Dampak inflasi tidak akan diteruskan karena akan terhenti pada pengguna akhir. Pertamax tidak terkait langsung dengan proses produksi dan distribusi barang dan jasa,” ujar doktor Kebijakan Publik Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti, ditulis Selasa (15/3/2022).
Menurut Komaidi, kenaikan harga minyak dunia saat ini kian memberatkan Pertamina. Harga Pertamax yang berlaku saat ini masih menggunakan acuan asumsi harga minyak Indonesia atau ICP APBN 2022 yang ditetapkan US$65 per barel. Padahal, harga minyak dunia terus menunjukkan tren peningkatan jauh di atas asumsi tersebut.
Baca Juga: Pertamina Harus Siapkan Strategi Keuangan Demi Pertahankan Harga Pertalite
Dari sisi konsumsi, pengguna Pertamax juga terus bertambah. Pemilik kendaraan bermotor banyak yang menggunakan produk Pertamax karena berkualitas dan ramah lingkungan dibandingkan BBM dengan RON di bawahnya. Total konsumsi konsumsi Pertamax secara nasional pada 2021 mencapai 12%, naik dari total konsumsi pada 2020 yang tercatat 8%.
“Kewenangan penentuan harga BBM nonsubsidi ada pada badan usaha. Namun itu juga bergantung pada pemegang saham,” jelas dia.
Komaidi menambahkan prasyarat utama bagi Pertamina untuk menyesuaikan harga Pertamax adalah melakukan komunikasi dengan pemerintah. Jika pemerintah memberi restu, Pertamina tentu bisa menaikkan harga Pertamax.
“Tidak menjadi terlalu harus diumumkan seperti BBM subsidi. Karena pelaku lain juga demikian,” tukas dia.
Yayan Satyakti, peneliti pada Center for Economics and Development Studies, Padjadjaran University (CEDS UNPAD), mengatakan alangkah baiknya, harga BBM domestik harus mendekati harga internasional, minimal 80-90% dari harga internasional.
Baca Juga: Kalangan Mampu Diminta Tak Beli Pertalite Demi Kelangsungan Subsidi Energi
Hal ini untuk menjaga keseimbangan agar pasar domestik tetap terjaga dan untuk menghidari kelangkaan pasokan karena BBM bisa diselundupkan ke luar negeri.
“Walaupun harga BBM lebih mahal, supply bisa dijaga daripada harga murah tetapi berbondong-bondong antre,” ujar staf pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad ini.
Menurut dia, kebijakan untuk menahan harga Pertamax tidak baik bagi perekonomian. Jika harga BBM yang menjadi kewenangan badan usaha ditahan harganya akan memberikan cost yang lebih banyak bagi ekonomi.
“Fungsi nilai keekonomisan dari harga ini karena untuk mengurangi impor migas, sulit untuk mengurangi konsumsi migas, terkecuali dengan menaikkan harga,” katanya.
Irto P Gintings, Pjs Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga-Subholding Commercial & Trading Pertamina, saat dikonfirmasi mengatakan, Pertamina tengah mengkaji potensi penyesuaian harga Pertamax seiring kenaikan harga minyak mentah beberapa waktu terakhir. Dia tidak merinci lebih jauh besaran kenaikan harga Pertamax nantinya.
“Dalam hal penyesuaian harga BBM nonsubsidi, kami senantiasa mempertimbangkan harga minyak dunia, kurs dollar, dan tentunya harus sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri ESDM,” ujarnya.