Suara.com - SoftBank Group mengonfirmasi bahwa mereka tidak berinvestasi dalam proyek pembangunan Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara di Kalimantan.
Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan Softbank akan berinvestasi sebesar USD100 miliar atau setara Rp 1.400 triliun di proyek IKN.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, mundurnya group raksasa asal Jepang tersebut dikarenakan memiliki masalah keuangan internal, khususnya pada masa pandemi.
"Mundurnya Softbank memberi sinyal kepada investor di balik Softbank bahwa strategi perusahaan akan lebih fokus pada pendanaan startup digital, bukan proyek pemerintahan," kata Bhima kepada Suara.com, Minggu (13/1/2022).
Baca Juga: Jokowi Berkemah di IKN Senin Depan, Gubernur se-Indonesia Diperintahkan Bawa Air dan Tanah
Apalagi, ada indikasi kuat risiko politik pembangunan IKN cukup tinggi. Terlebih kegaduhan belakangan soal perpanjangan masa jabatan presiden membuat investor memilih wait and see.
"Investasi di IKN bukan jangka pendek, tapi butuh kepastian jangka panjang. Dikhawatirkan risiko politik terkait pemilu akan membuat proyek IKN terkendala, bahkan bisa berhenti total," katanya.
Selain itu faktor perang di Ukraina menambah deretan ketidakpastian global. Investor juga membaca risiko inflasi yang tinggi di negara maju akan membuat biaya pembangunan IKN naik signifikan.
Biaya besi baja, barang material konstruksi pun akan mengalami kenaikan imbas dari terganggu nya rantai pasok global.
"Hal ini pernah terjadi saat pembangunan ibu kota negara di Putrajaya-Malaysia saat krisis moneter 1998, membuat biaya pembangunan naik signifikan," ungkapnya.
Baca Juga: KPK Telusuri Dugaan Bupati PPU Turut Bagi-bagi Kavling di Proyek IKN Nusantara
Sementara itu naiknya suku bunga diberbagai negara turut meningkatkan biaya dana (cost of fund) khususnya bagi investor yang memiliki rasio utang tinggi.
Bhima pun melihat konsekuensi dari mundurnya Softbank ada dua. Pertama, jika Pemerintah ingin mengejar pembangunan IKN tepat waktu maka investasi awal IKN sebanyak 80-90 persen harus diperoleh dari APBN.
"Ditengah target menurunkan defisit dibawah 3 persen pada 2023 maka Pemerintah akan andalkan keuntungan penerimaan dari komoditas, dan menambah pembiayaan utang baru," ujarnya.
Kedua, Pemerintah perlu cari pengganti Softbank entah lembaga investasi hedge fund maupun sovereign wealth fund dari negara mitra, seperti Arab Saudi.
"ayangnya mencari investor sekelas Softbank bukan hal mudah, apalagi proses pembangunan IKN segera dimulai. Butuh proses uji kelayakan, pembacaan situasi ekonomi dan hitung-hitungan manfaat sosial-politik bagi investor," imbuhnya.