Suara.com - Rusia belum menyatakan mundur untuk menjalankan operasi militer mereka terhadap Ukraina. Padahal biaya yang dibutuhkan Rusia untuk operasi militer ini cukup besar.
Mengutip laporan lembaga riset Centre for Economic Recovery dan Civitta serta EasyBusiness, pemeritnah Rusia diperkirakan menghabiskan 20 miliar dolar AS atau setara Rp 288 triliun tiap hari dalam operasi militer ini.
Tidak hanya itu, lembaga itu juga memperkirakan, jika ada alat tempur Rusia yang hancur maka biaya yang dibutuhkan bisa lebih besar.
Sementara itu, untuk nilai kerugian dari korban jiwa, lembaga itu memetakannya dengan membuat proyeksi hilangnya PDB dari korban ini.
Baca Juga: Arab Saudi Hapus Aturan Karantina dan PCR, Kemenag Akan Konsultasi DPR Kaji Ulang Biaya Haji 2022
"Skala mobilisasi, termasuk logistik, personel, amunisi, bahan bakar, peluncuran roket, dan sebagainya akan menghabiskan lebih banyak uang setiap hari. Akibatnya, menurut para peneliti, biaya perang harian untuk Rusia kemungkinan akan melebihi US$ 20 miliar seiring dengan skala invasi," tulis laporan terkait dikutip Consultancy.eu dikutip Rabu (9/3/2022).
Dalam data yang dibagikan, kurang dari satu minggu, militer Rusia kehilangan 29 jet tempur, 29 helikopter, dan 75 unit senjata artileri.
Selain itu, lembaga yang sama juga mengklaim, Rusia kehilangan 191 tank dan 816 mobil armor lapis baja dan 518 tentara tewas dalam operasi militer tersebut.
"Kerugian langsung dari perang saja, termasuk peralatan militer yang dilikuidasi dan korban di antara personel dalam 5 hari pertama, telah merugikan Rusia sekitar US$ 7 miliar. Dari jumlah ini, hilangnya nyawa manusia saja diperkirakan menyumbang US$ 2,7 miliar dalam PDB yang hilang selama beberapa tahun mendatang," sebut data tersebut.
Data yang juga menyebutkan mengenai kerugian Rusia lainnya pasca sanksi yang dijatuhkan beberapa negara hingga diprediksi memicu inflasi yang cukup tajam.
Baca Juga: Ukraina Sapu Medali Paralimpiade Dalam Suasana Khawatir Akibat Invasi
"Perusahaan Rusia dengan cepat kehilangan kapitalisasi pasar, dan dengan pembatasan baru pada perdagangan obligasi pemerintah dan pembekuan aset bank sentral, menjadi sangat sulit bagi otoritas Rusia untuk menjaga stabilitas makro dan membayarkan utang negara," demikian sebut data tersebut.