Makin Panas, Eropa, AS dan Jepang Batasi Transaksi Kripto dari Rusia

M Nurhadi Suara.Com
Selasa, 08 Maret 2022 | 13:26 WIB
Makin Panas, Eropa, AS dan Jepang Batasi Transaksi Kripto dari Rusia
Ilustrasi (Unsplash/Bermix)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rusia kini tengah makin terdesak dalam menghadapi tekanan seiring pembatasan transaksi kripto dari Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang.

Langkah ini diambil guna mengantisipasi Rusia yang bertransaksi menggunakan kripto usai mendapatkan sanksi ekonomi dari berbagai negara.

Mengutip dari Nikkei Asia pada Selasa (8/3/2022), pemegang kebijakan Jepang saat ini mulai menyiapkan regulasi baru termasuk larangan pertukaran kripto dari warga Rusia.

Sejumlah negara di barat saat ini disebut-sebut jadi pilihan bagi Rusia agar bisa bertransaksi uang ke berbagai negara pasca sanksi yang diberikan.

Baca Juga: Dikritik, PM Inggris Tetap Tolak Mudahkan Visa untuk Pengungsi Ukraina: Tak Masuk Akal

Sanksi tersebut termasuk kesepakatan oleh AS, Jepang dan Uni Eropa untuk memblokir bank-bank besar Rusia dari jaringan pembayaran global SWIFT.

Para menteri keuangan Uni Eropa sepakat pada Selasa (1/3/2022) untuk menyelidiki lebih lanjut tindakan untuk menghindari sanksi, terutama dengan penggunaan aset kripto.

Mantan kepala pusat teknologi keuangan Bank of Japan yang sekarang menjadi profesor di Universitas Kyoto, Naoyuki Iwashita, menuturkan, ini bukan pertama kalinya aset kripto digunakan untuk hal semacam itu.

Selama krisis keuangan di Siprus pada 2013, pemerintah memberlakukan kontrol modal untuk mencegah rush money, termasuk pembekuan deposito.

Negara ini telah lama menjadi surga pajak bagi orang kaya Rusia, dan diperkirakan banyak yang bergegas menukar uang mereka dengan Bitcoin ketika kontrol diumumkan.

Baca Juga: Dikecam Banyak Orang, Inggris Tegaskan Tidak Memberikan Kemudahan Visa untuk Pengungsi Ukraina

"Ini adalah salah satu kasus besar pertama di mana mata uang kripto digunakan untuk pencucian uang," kata Iwashita dikutip dari Warta Ekonomi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI