Harga Minyak dan Berbagai Komoditas Melonjak, Investor Ramai-ramai Jual Saham

M Nurhadi Suara.Com
Selasa, 08 Maret 2022 | 08:30 WIB
Harga Minyak dan Berbagai Komoditas Melonjak, Investor Ramai-ramai Jual Saham
Ilustrasi: Para pialang sedang bekerja memperhatikan layar monitor pergerakan saham di Bursa Efek New York, Wall Street, Amerika Serikat. REUTERS/Brendan McDermid/aa.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Harga minyak dan berbagai komoditas lain terpantau naik sementara saham global merosot pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), disebabkan AS yang melarang impor minyak Rusia hingga memicu kekhawatiran investor atas inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Minyak mentah Brent, patokan internasional, sempat capai harga lebih dari 139 dolar AS per barel, level tertinggi sejak 2008.

Harga nikel meroket 90 persen, emas menembus 2.000 dolar AS per ounce dan gandum melonjak ke level tertinggi 14 tahun, karena pembeli dan pedagang industri berebut di tengah gangguan pasokan terkait dengan operasi militer Rusia ke Ukraina.

Imbal hasil obligasi pemerintah riil zona euro turun tajam karena lonjakan harga-harga energi memicu kekhawatiran bahwa ekonomi global berada dalam risiko stagflasi, suatu kondisi di mana harga-harga melonjak sementara pertumbuhan mandek.

Baca Juga: Waduh Harga Minyak Goreng di Cianjur Masih Diatas Rp 14 Ribu Per Kilogram

Imbal hasil obligasi pemerintah Jerman 10-tahun dan 30-tahun terkait inflasi turun ke rekor terendah baru, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun naik sedikit setelah menyentuh level terendah dalam dua bulan.

Indeks-indeks utama Wall Street turun tajam, dengan Komposit Nasdaq mengkonfirmasi berada di pasar bearish, dan indeks STOXX 600 pan-Eropa memangkas kerugian sekitar 3,0 persen menjadi ditutup pada level terendah hampir satu tahun.

Presiden AS, Joe Biden bersedia untuk melanjutkan larangan AS atas impor minyak Rusia bahkan jika sekutu Eropa tidak, dua orang yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada Reuters.

Rusia menyebut tindakannya di Ukraina sebagai "operasi khusus", tetapi telah memicu sanksi besar-besaran oleh Amerika Serikat dan Eropa yang bertujuan untuk mengisolasi Rusia ke tingkat yang belum pernah dialami oleh ekonomi sebesar itu.

"Efek melumpuhkan harga minyak di atas 130 dolar AS akan mengirim banyak ekonomi Eropa ke dalam resesi," dan skenario itu menyebabkan saham Eropa bergerak ke wilayah pasar bearish," kata Edward Moya, analis senior di OANDA.

Baca Juga: Ini Lima Komoditas Utama yang Menyumbang Inflasi Lhokseumawe

"AS dapat menangani tidak memiliki pasokan energi Rusia, tetapi itu tidak berlaku untuk Eropa."

Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 797,42 poin atau 2,37 persen, indeks S&P 500 kehilangan 127,79 poin atau 2,95 persen dan Komposit Nasdaq terpuruk 482,48 poin atau 3,62 persen.

Indeks saham MSCI di seluruh dunia jatuh 2,73 persen. Minyak mentah berjangka Brent ditutup naik 4,3 persen pada 123,21 dolar AS per barel. Minyak mentah AS ditutup naik 3,22 persen pada 119,40 dolar AS per barel.

Analis Bank of America memperkirakan bahwa hilangnya 5 juta barel per hari minyak Rusia dapat menyebabkan harga minyak mentah mencapai 200 dolar AS per barel.

Konflik Rusia-Ukraina juga membebani pembicaraan yang bertujuan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara besar, setelah Teheran menuduh Rusia "mengganggu".

Harga nikel, yang mencapai 55.000 dolar AS per ton di awal sesi perdagangan, terakhir diperdagangkan naik 76 persen pada 50.925 dolar AS per ton.

Rusia memasok sekitar 10 persen nikel dunia, dan investor khawatir sanksi Barat terhadap Rusia dapat mengganggu pengiriman komoditas yang diproduksi dan diekspor melalui udara dan laut.

Konflik dan gangguan rantai pasokan yang lebih luas memberikan latar belakang yang menantang untuk pertemuan bank-bank sentral mendatang, ekonom ANZ Finn Robinson menulis dalam sebuah catatan kepada investor.

"Pembuat kebijakan perlu menjaga kelancaran transmisi kebijakan moneter sementara juga menopang kredensial inflasi mereka pada saat tekanan inflasi melonjak dan semakin banyak bukti efek putaran kedua," tulis Robinson.

Mayoritas ekonom yang disurvei oleh Reuters sekarang memperkirakan Bank Sentral Eropa akan menunggu hingga akhir tahun untuk menaikkan suku bunga.

Di Amerika Serikat, investor mengamati dengan cermat laporan harga konsumen yang akan dirilis pada Kamis (10/3/2022). Data tersebut diperkirakan menunjukkan IHK inti AS untuk Februari naik 6,4 persen tahun-ke-tahun, naik dari 6,0 persen pada Januari.

Angka yang lebih panas kemungkinan akan menutup kenaikan suku bunga Federal Reserve akhir bulan ini. Saat ini, pedagang tengah melihat probabilitas 99 persen dari kenaikan suku bunga 25 basis poin oleh Fed pada pertemuan Maret, sementara melihat peluang 1,0 persen tidak ada perubahan suku bunga.

Indeks dolar, yang mengukur nilai greenback terhadap enam mata uang global lainnya, terakhir naik 0,33 persen pada 99,24. Euro turun 0,7 persen terhadap dolar pada 1,08575 dolar AS.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI