Suara.com - Perbaikan fundamental ekonomi Indonesia dianggap memiliki peran penting dalam menopan sentimen positif di pasar saham domestik pada 2022.
"Kesiapan Indonesia dalam menghadapi perubahan kebijakan moneter dan fiskal di tahun ini ditunjukkan oleh aliran dana asing yang masuk secara stabil ke pasar saham Indonesia," ujar Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Freddy Tedja, Kamis (24/2/2022).
Optimisme pemulihan aktivitas ekonomi, fundamental ekonomi yang semakin baik, stabilitas nilai tukar rupiah, serta pendekatan investor yang "forward looking past pandemic", mendorong masuknya aliran dana asing di pasar saham Indonesia.
Ia melanjutkan, saat ini pasar obligasi Indonesia sudah lebih siap dalam menghadapi volatilitas eksternal. Kondisi fundamental yang suportif menjadi penopang pasar obligasi Indonesia di tengah tingginya sentimen eksternal.
Baca Juga: Rekor Baru, IHSG Hari Ini Tembus Level Psikologis 6.900
Fundamental yang suportif terlihat dari imbal hasil riil yang tinggi, defisit neraca berjalan yang mengecil, cadangan devisa yang meningkat, likuiditas domestik yang memadai, dan pasokan yang terkendali.
Di tengah kondisi saat ini, investor harus melakukan diversifikasi portofolio investasi. Investasi pada kedua instrumen, baik saham maupun obligasi, akan menjaga risk-return portofolio investor.
"Saham dapat menjadi performance kicker yang didukung oleh potensi pemulihan ekonomi, sedangkan obligasi dapat memberikan kinerja yang lebih moderat dengan risiko yang lebih rendah," kata Freddy.
Menurut Freddy, keduanya sebaiknya dimiliki oleh investor sebagai diversifikasi aset pada portofolio di tengah kondisi global yang fluktuatif.
Dari global, The Fed telah mempertegas perubahan arah kebijakannya, dengan lebih menekankan pada pentingnya penanggulangan inflasi, memberikan sinyal kenaikan suku bunga lebih cepat dan sinyal pengurangan neraca (quantitative tightening).
Baca Juga: Kembali Catat Rekor, IHSG Awal Pekan Ini Ditutup Menguat ke 6.902
Seiring perubahan arah kebijakan itu, antisipasi pasar terhadap jumlah kenaikan suku bunga menjadi semakin agresif, berada pada kisaran kenaikan 4-5 kali pada 2022.
Namun, perlu diingat bahwa dalam memutuskan kebijakan, The Fed akan tetap data "dependent", artinya keputusan menaikkan suku bunga akan tetap didasari pada perkembangan data perekonomian terkini, terutama terkait inflasi, arah pertumbuhan ekonomi, dan pandemi COVID-19.
"Sangat wajar jika terjadi sedikit volatilitas pasar pada periode kenaikan suku bunga The Fed. Namun stabilitas makroekonomi Indonesia saat ini yang jauh lebih baik dibandingkan dengan data-data periode kenaikan suku bunga The Fed di masa lalu, membuat Indonesia jauh lebih kuat dalam menghadapi kenaikan ini," ujar Freddy.
Sementara itu, dalam beberapa pekan terakhir, perhatian dunia tengah berfokus pada ketegangan antara dua negara yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet, yaitu Rusia dan Ukraina. Secara geografis, Ukraina berbatasan langsung dengan Rusia dan Uni Eropa.
Secara geopolitik, saat ini Ukraina terlihat lebih mendekat ke Eropa. Perkembangan invasi Rusia ke Ukraina dinilai menjadi salah satu risiko yang harus diwaspadai, karena dapat menimbulkan peningkatan volatilitas di pasar finansial dunia.
"Sebagai negara penghasil komoditas, baik di bidang pertambangan maupun pertanian, terutama gandum, invasi Rusia ke Ukraina dapat menambah beban pada meroketnya inflasi dunia," kata Freddy.