Suara.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sepanjang tahun 2021 total penyaluran pinjaman berkelanjutan atau kredit hijau mencapai USD 55,9 juta atau sekitar Rp 800 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.300.
Sementara untuk sustainability green bond atau obligasi hijau pada tahun lalu mencapai USD 2,26 juta atau sekitar Rp 32 triliun, sementara blended finance untuk 55 projek mencapai USD 3,27 juta atau Rp 46 triliun.
“Itu merupakan data sebelum kami adjust dengan Taksonomi Hijau yang baru-baru ini dirilis Presiden,” ujar Deputi Komisioner Stabilitas Perbankan OJK Agus Edi Siregar dalam webinar bertajuk 'Scaling Up The Utilization Of Sustainable Financial Instruments' yang merupakan rangkaian acara Presidensi G20 di Indonesia, Jumat (18/2/2022).
Meski begitu, realisasi tersebut terbilang masih kecil, terutama soal penerbitan obligasi hijau. Rendahnya pemberian insentif dalam kebijakan penerbitan obligasi hijau menjadi salah satu masalahnya.
Baca Juga: Sektor Publik Masih Sulit Akses Kredit Hijau, Bos BI Ungkap Akar Masalahnya
"Tetapi di pasar ternyata dengan segala usaha yang begitu berat, harga dari green bond sama saja dengan non-green bond. Ini tantangan terbesar,” katanya.
Masih menurut Agus, dalam konteks tersebut memang diperlukan rencana tentang bagaimana merancang struktur insentif yang baik ke depannya. Dia menilai hal ini perlu dilakukan untuk menggenjot minat pembiayaan hijau lebih banyak lagi.
Selain itu, dia menambahkan bahwa tantangan lain adalah penentuan standar terkait dengan sektor mana saja yang masuk dalam kategori hijau.
“Standar ini penting supaya semua pihak memiliki bahasa yang sama untuk mendesain pembiayaanya,” kata Agus.