Lippo Group Tandatangani Komitmen World Economic Forum Stakeholder Capitalism Metrics di Level Global

Iwan Supriyatna Suara.Com
Selasa, 08 Februari 2022 | 08:01 WIB
Lippo Group Tandatangani Komitmen World Economic Forum Stakeholder Capitalism Metrics di Level Global
CEO LPKR John Riady.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lippo Group menjadi salah satu perusahaan pertama dari Asia Tenggara yang menandatangani World Economic Forum Stakeholder Capitalism Metrics (SCM) bersama dengan lebih dari 100 perusahaan internasional kelas dunia lainnya.

Langkah itu ditempuh sebagai komitmen berkelanjutan dan bukti konsistensi Lippo menerapkan prinsip environmental, social, dan governance (ESG) dalam usahanya demi mendukung terciptanya kondisi dunia yang lebih baik.   

SCM merupakan acuan penerapan prinsip ESG secara global yang sifatnya lintas industri. SCM dirumuskan oleh World Economic Forum (WEF) berkolaborasi dengan perusahaan konsultan dan audit dunia yaitu Deloitte, EY, KPMG dan PwC.

Adapun beberapa perusahaan yang berkomitmen pada SCM di antaranya Dell Technologies, Fidelity International, Mitsubishi Corporation, UBS, Unilever, Siemens AG, Sony Corporation, dan Nestle.

Baca Juga: Videotron di Lippo Plaza Ambruk Diterjang Hujan Deras dan Angin Kencang, Timpa Gapura

Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady, yang juga ditunjuk sebagai World Economic Forum Young Global Leaders, mengatakan penandatanganan itu dilakukan pihaknya pada Desember tahun lalu. Menurut John, dari persepsi Lippo Group, komitmen terhadap SCM adalah hal baik yang harus diterapkan demi kebaikan bisnis dan lingkungan pendukungnya secara jangka panjang. John memaparkan data dari WEF terkait SCM yang dimiliki pihaknya. Saat ini perusahaan-perusahaan besar terlebih yang sudah go public, tidak hanya memikirkan kepentingan pemegang saham atau shareholders, namun kini paradigmanya berubah menjadi stakeholders.

“ESG dan Stakeholder Capitalism menjadi hal yang penting untuk kami semua. Model bisnis kedepan kita harus mencari sebuah solusi: di satu sisi memperhatikan sustainability, baik untuk lingkungan dan masyarakat, di sisi lain juga profitability dan growth. Jadi ada kesinambungan dan lingkaran ekosistem bisnis antara purpose dan profit. Ini menjadi aspirasi kami di Lippo, dan alasan kami tergerak untuk menjadi perusahaan pertama dari Indonesia yang menandatangani World Economic Forum Stakeholder Capitalism Metrics bersama dengan lebih dari 100 perusahaan internasional kelas dunia lainnya,” tegas John.

Di era ini, lanjut John, yang menjadi tantangan utama adalah bagaimana pelaku bisnis atau pelaku industri lebih sustainable di masa datang. Maka, SCM dari WEF adalah solusi utamanya. Sebagai gambaran, atas pentingnya prinsip ESG ke depan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menyinggung dan menekankan penguatan penerapan ESG tersebut di pertemuan WEF yang dihadiri secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada 20 Januari 2022. Terkait hal itu, John mengapresiasi langkah Presiden Jokowi.

John menuturkan bahwa sejak Januari 2020, sejumlah ESG metrics yang bersifat universal atau berlaku lintas industri telah diindentifikasi oleh WEF. Seiring dengan riset dan pertimbangan matang, melalui konsultasi dengan 200 organisasi global, SCM direduksi menjadi 21 core dan 34 expanded metrics dan dibagi menjadi empat kategori besar yaitu Principle of Governance, Planet, People, dan Prosperity. Empat kategori besar tersebut menurut John sejalan dengan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Memulai 3 Tahun Lebih Awal

Baca Juga: Konsensus Analis Prediksi Pendapatan LPKR Tumbuh Menjadi Rp 14,93 Triliun di 2022

John menuturkan, sebenarnya Lippo Group sendiri telah mulai memperhatikan penerapan prinsip ESG setidaknya sejak tiga tahun lalu.

“Jadi ini bukan hal baru bagi kami. Sekarang kami sudah punya sustainability committee yang mendapatkan perhatian dan dukungan yang terbaik dari anggota-anggota Direksi. Kami juga ada Head of Sustainability. Harapan kami di tahun-tahun yang akan datang bisa terus lebih matang dan komprehensif," kata John menjelaskan.

John pun bahkan merinci capaian pihaknya selama ini yang mengacu pada 4 prinsip besar SCM. Dalam topik Governance, Lippo Group sejak tiga tahun yang lalu merombak jajaran top management untuk memperbaiki kinerja dan memperkuat penerapan prinsip ESG. Mengenai Planet, kami telah menyediakan begitu banyak area penghijauan, irigasi, dan sistem drainase dengan kualitas terbaik. Bahkan kami juga menggunakan air dari hasil pengolahan yang sangat baik dan air dari sumber terbarukan seperti pemanenan air hujan untuk menghemat air.

Terkait People, pihaknya tak ragu mengusung diversity and inclusion.

“Jadi kami sebenarnya sudah cukup baik. Kemudian ke equality bisa diukur sejauh mana levelnya, health and safety bagi pekerja juga memang sudah jadi perhatian kami,” kata John menegaskan.

Terakhir, dalam prinsip Prosperity, John menyinggung terkait kontribusi Lippo Group terhadap sistem perekonomian. Menurutnya Lippo Group memiliki kontribusi besar terhadap kesejahteraan pekerjanya juga bagi ekonomi Indonesia dari investasi-investasi yang ditanamkan.

“Mengenai berapa banyak yang sudah kami realisasikan dari prinsip besar tadi, mungkin 80% sudah kami kerjakan. Tapi sifatnya ini sesuatu yang harus terus diperbaiki dan tetap ditingkatkan lagi,” kata John.

Tantangan Penerapan ESG

Di sisi lain, John pun menyoroti penerapan prinsip ESG di tataran nasional. Menurutnya hal ini bukan perkara mudah. Perlu waktu mensosialisasikannya sehingga masyarakat khususnya pelaku bisnis paham dan mau mengadopsi prinsip tersebut. Tantangan utamanya, kata John, adalah awareness atau kesadaran. Dia yakin sebenarnya banyak manajemen perusahaan saat ini sedang memikirkan solusi penerapan ESG.

Penerapan prinsip tersebut perlu didukung oleh edukasi, sosialisasi serta regulasi yang kuat dari pemangku kebijakan untuk menciptakan standardisasi yang jelas dan dapat diterapkan secara riil. John berharap penerapan ESG tak sekadar proses administrasi dalam penilaian dan pertanggungjawaban sebuah perusahaan.

“Saya pikir banyak orang hatinya sudah di sana. Tinggal bagaimana membekali niat baik itu dengan satu framework, lebih terstruktur, lebih komprehensif. Saya pikir challenge kedua adalah yang disebut greenwashing. Jangan ujung-ujungnya menjadi satu proses administrasi saja. Jadi niat baiknya hilang, jadi sekedar legal exercise. Pemerintah harus bisa mendorong ini diadopsi dengan riil,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI