Penjelasan Lengkap Alasan Fatwa Haram Kripto dari MUI, Tarjih PP Muhammadiyyah dan PWNU Jatim

M Nurhadi Suara.Com
Rabu, 26 Januari 2022 | 08:11 WIB
Penjelasan Lengkap Alasan Fatwa Haram Kripto dari MUI, Tarjih PP Muhammadiyyah dan PWNU Jatim
Ilustrasi Cryptocurrency. [WorldSpectrum/Pixabay]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Belum lama ini, pemerintah Indonesia secara resmi mengizinkan perdagangan 229 kripto. Hal ini tertuang dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti) Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto Yang Dapat Diperdagangkan Di Pasar Fisik Aset Kripto.

Keputusan pemerintah sedikit berseberangan dengan sejumlah kalangan agamis seperti Majelis Ulama Indonesia, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah hingga Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang merilis fatwa haram pada aset digital tersebut untuk digunakan sebagai alat pembayaran.

“Dalam Fatwa Tarjih menetapkan bahwa mata uang kripto hukumnya haram baik sebagai alat investasi maupun sebagai alat tukar,” tulis Muhammadiyah dalam laman resminya, Selasa (18/1/2022).

Sedikit berbeda dengan Muhammadiyah, MUI melalui ijtima tidak hanya mengharamkan kripto sebagai alat pembayaran tapi juga haram diperdagangkan.

Baca Juga: Harapan Kapolri Ke RS Muhammadiyah: Dapat Berkembang Dengan Faskes Berstandar Internasional

Organisasi induk itu juga menyebut kripto sebagai aset digital yang tidak sah diperdagangkan karena memiliki nilai gharar, dharar, qimar.

“Tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli,” kata Sekretaris Komisi Fatwa, Niam dalam konferensi pers, akhir tahun lalu.

Meski demikian, Asrorun Ni'am Sholeh mengacualikan, kripto yang memenuhi syarat sil’ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas, maka sah untuk diperdagangkan.

Mengutip dari Terkini.id (jaringan Suara.com), Fatwa Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menjelaskan, kripto memiliki banyak sifat spekulatif hingga kurang secara syariat Islam.

Alasannya, sifat spekulatif dan gharar dilarang dalam Agama Islam, merujuk pada Firman Allah dan hadis Nabi Muhammad dan tidak memenuhi standar Etika Bisnis menurut Muhammadiyah Sebagai alat tukar. Ditambahkan pula, kripto hingga kini belum memiliki otoritas resmi yang bertanggung jawab.

Baca Juga: PBNU Akhirnya Panggil 2 PCNU Terkait Dukungan Bakal Capres 2024

Dengan demikian, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyimpulkan, ada kemudaratan dalam mata uang kripto.

Sedangkan dalam bahtsul masail yang dilakukan PWNU Jawa Timur Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur juga menyimpulkan kripto atau mata uang digital yang dijamin dengan kriptografi sebagai alat transaksi adalah haram.

Alasannya, penggunaan kripto untuk transaksi dinilai memungkinkan untuk menghilangkan legalitas transaksi. Selain itu, kripto memiliki risiko besar terkait penipuan.

“Atas beberapa pertimbangan, di antaranya adalah akan adanya penipuan di dalamnya, maka dihukumi haram,” demikian sebut Kiai Azizi Chasbullah selaku mushahih pada Oktober 2021.

Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dalam aturan yang dirilisnya mengkategorikan kripto dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik di Bursa Berjangka.

Perdagangan kripto dipersilakan dengan syarat, prinsip tata kelola perusahaan yang baik, mengedepankan kepentingan anggota bursa berjangka, perdagangan fisik aset kripto, termasuk pelanggan aset kripto untuk memperoleh harga yang transparan dan wajar. 

Selain itu, tidak sembarang kripto bisa ditransaksikan di Indonesia, kripto itu harus memenuhi syarat erbasis ledger technology, berupa aset kripto utilitas atau utilty crypto atau juga bisa disebut aset kripto beragun aset (crypto backed asset). 

Ditambah lagi, kripto itu juga sudah memiliki hasil penilaian dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang ditetapkan Bappebti sendiri.

Menanggapi fatwa-fatwa di atas, Chief Executive Officer (CEO) Indodax Oscar Darmawan mengatakan, kripto memang tidak digunakan untuk alat pembayaran di Indonesia tapi dijadikan komoditi.

“Sebenarnya semua aset kripto punya underlying-nya. Cuma ada yang underlying-nya mudah dipahami dalam aset fisik seperti USDT, LGold, LSILVER, XSGD, tapi ada juga yang underlying-nya berupa biaya penerbitannya seperti Bitcoin,” papar Oscar.

Dalam kesempatan terpisah, Chief Operating Officer (COO) Tokocrypto Teguh Kurniawan Harmanda mengaku menghargai fatwa haram kripto meski ia menjelaskan Bappebti mengawasi ketat kripto di Indonesia.

“Terkait isu fatwa MUI, kami sangat menghormati pandangan, kearifan dan penyikapan para kiai dan ulama,” kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI