Suara.com - Pengamat politik dari Universitas Diponegoro Teguh Yuwono menyebut, harus ada pergantian presiden dan wakil presiden dari hasil Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) pada Oktober 2024.
"Penundaan Pemilu 2024 melanggar konstitusi karena mekanisme siklus 5 tahunan diatur dalam tata kelola perundang-undangan," kata dia, Minggu (16/1/2021) pagi.
Pria yang juga menjabat Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang ini menanggapi ucapan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menyebut, para pelaku usaha di Indonesia ingin agar Pemilu 2024 diundur karena situasi dunia usaha mulai kembali bangkit setelah terpuruk akibat pandemi COVID-19.
"Jadi, tidak bisa menunda pemilu dengan alasan pandemik COVID-19. Bahkan, negara-negara lain juga menyelenggarakan pemilu," ujar dia.
Baca Juga: Soal Penundaan Pilpres 2024, Usul Bahlil Bisa Memperburuk Citra Indonesia
Lulusan Flinders University Australia ini lantas menyinggung Pilpres Amerika Serikat 2020 yang pelaksanaannya di awal wabah virus corona melanda dunia namun sama sekali tidak menyebabkan kekacauan.
Menurut dia,secara teoritis kalau siklus 5 tahunan itu kemudian dengan alasan ini itu ditunda, justru berpeluang menjadi kaos (chaos) atau keadaan kacau balau.
Sehingga, lanjut Teguh Yuwono, Presiden RI Joko Widodo selaku Kepala Negara harus memastikan tidak melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
"Justru pemerintah mempersiapkan segala kemungkinan terkait dengan pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah pada tahun yang sama dengan kondisi seperti ini," kata Teguh Yuwono yang pernah sebagai Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Undip.
Ia berharap media massa melalui pemberitaannya selalu mengingatkan para pihak, khususnya pemerintah, bahwa wacana penundaan pemilu inkonstitusional, bahkan bisa menimbulkan banyak persoalan. Apalagi, tidak ada aturan mengenai perpanjangan waktu dalam konstitusi.