Suara.com - Dunia virtual Metaverse terus jad perbincangan berbagai lini, selain kemajuan teknologi yang ditawarkan, 'dunia baru' ini memungkinkan manusia untuk berinteraksi dengan objek digital dan berpindah dari satu lingkungan virtual ke lainnya. Di lingkungan ini, pengguna bersosialisasi, bekerja dan bahkan beribadah di perbatasan fisik dan digital.
Namun, kemajuan metaverse juga memunculkan sisi negatif, pakar terorisme di Pusat Edukasi, Teknologi dan Inovasi Anti-Terorisme National Omaha, Nebraska, AS belakangan meneliti potensi metaverse menjadi markas kelompok teroris di masa depan.
Hal ini tidak lain karena metaverse semakin memuluskan aksi terorisme di dunia virtual. Diantaranya, mereka semakin mudah dalam melakukan rekrutmen secara daring.
Berkat kecerdasan buatan serta augmented reality di metaverse, tokoh teroris dapat berupa avatar digital yang berdiri di pusat keramaian dan berusaha memikat penonton dengan iming-iming masa depan.
Baca Juga: PN Jaktim Kembali Gelar Sidang Terorisme Terdakwa Munarman
Metaverse yang kian ramai bisa menjadi sarana bagi pemimpin ekstremis menempa dan merawat ideologi virtual serta komunitas sosial dengan metode perluasan yang sulit dihambat.
Kemudian, dengan mempelajari metaverse, para kelompok militan bisa berkoordinasi, berencana dan melancarkan aksi serangan.
Berbekal pengintaian dan pengumpulan informasi, kelompok ini dapat menciptakan lingkungan virtual yang menjadi panduan serangan bagi rekrut baru.
Selain itu, anggota kelompok dapat mempelajari jalur efisien, mengkoordinasikan rute alternatif serta menyusun rencana cadangan bila terjadi kesalahan.
Objek augmented reality seperti tanda panah virtual dapat membantu teroris mengidentifikasi target serangan.
Baca Juga: Memprediksi Potensi Kripto Decentraland (MANA) di Masa Depan
Kelompok ekstremis dapat menyusun rencana dari tempat tinggal atau pekarangan sembari membangun hubungan sosial dengan rekan-rekan satu kelompok dalam penampilan avatar.
Ketiadaan 'fisik' membuat mereka leluasa untuk melakukan pertemuan tanpa membutuhkan lokasi yang pasti secara fisik dan tanpa khawatir digerebek pihak berwajib.
Sebagai contoh, upacara peringatan peristiwa 9/11 di AS yang digelar di dunia virtual dapat menjadi target serangan ekstremis. Pernikahan di metaverse dapat dibubarkan oleh kelompok yang tidak setuju dengan agama atau gender dari pasangan yang menikah.
Aktivitas ekonomi di metaverse dipastikan sangat terganggu jika aksi terorisme masuk ke dunia tersebut. Periset di Omaha menyarankan perusahaan-perusahaan yang berkecimpung di metaverse untuk tidak mengizinkan dan menendang keluar pengguna yang melakukan tindakan terorisme.
Namun, mengutip dari Blockchainmedia, salah satu perusahaan yang sangat menggaung-gaungkan metaverse, Meta hingga kini belum dapat meyakinkan ketika berbicara soal sikap bertanggungjawab dan menghormati hak-hak pengguna di platform tersebut.