Suara.com - Harga minyak dunia menyentuh level tertinggi dua bulan pada perdagangan Rabu (12/1/2022), di tengah ketatnya pasokan karena persediaan minyak mentah di Amerika Serikat, konsumen utama dunia, merosot ke tingkat terendah sejak 2018.
Selain itu, minyak juga terangkat karena dolar melemah dan meredanya kekhawatiran tentang varian Omicron virus Corona.
Mengutip CNBC, Kamis (13/1/2022) minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup melonjak 95 sen, atau 1,1 persen menjadi USD 84,67 per barel. Sementara itu, patokan Amerika, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), melesat USD 1,42 atau 1,8 persen menjadi USD 82,64 per barel.
Persediaan minyak mentah Amerika Serikat turun 4,6 juta barel pekan lalu menjadi 413,3 juta barel, terendah sejak Oktober 2018, tutur Badan Informasi Energi.
Baca Juga: Amerika Serikat Lepas 870.000 Barel Minyak untuk Shell
"Penarikan minyak mentah lebih besar dari ekspektasi meski ada penurunan material dalam aktivitas penyulingan," kata Matt Smith, analis Kpler, sebuah perusahaan data.
Pelemahan dolar adalah pendorong utama harga minyak bergerak lebih tinggi, bahkan melampaui penarikan EIA, ungkap Smith lagi. Depresiasi greenback membuat kontrak minyak berdenominasi dolar itu lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Indeks Dolar (Indeks DXY) jatuh ke level terendah dua bulan terhadap sekeranjang mata uang setelah data menunjukkan indeks harga konsumen Amerika meningkat solid pada Desember.
Persediaan minyak mentah Amerika turun selama tujuh minggu berturut-turut, dan persediaan secara keseluruhan mengetat di seluruh dunia karena produsen utama berjuang untuk meningkatkan pasokan bahkan ketika permintaan melesat meski kasus Omicron melonjak.
Produsen OPEC Plus, Organisasi Negara Eksportir Minyak dan sekutunya, masih mempertahankan produksi lebih dari 3 juta barel per hari (bph) kendati ekspor Iran terhambat oleh sanksi Amerika.
Baca Juga: Melambung, Harga Minyak Dunia Hampir Sentuh USD 84/Barel
Meski OPEC Plus menaikkan target produksi setiap bulan, kesulitan teknis menghambat beberapa negara mencapai kuota mereka.
Chairman Federal Reserve, Jerome Powell, mengatakan ekonomi Amerika mampu menghadapi lonjakan COVID-19 saat ini yang dampaknya diprediksi hanya "berumur pendek" dan siap untuk memulai kebijakan moneter yang lebih ketat.
"Dengan asumsi China tidak mengalami perlambatan tajam, bahwa Omicron benar-benar menjadi Omi-gone, dan dengan kemampuan OPEC Plus untuk meningkatkan produksi jelas terbatas, saya tidak melihat alasan mengapa minyak mentah Brent tidak dapat bergerak menuju USD 100 pada kuartal pertama, mungkin lebih cepat," kata analis Oanda, Jeffrey Halley.