Produsen Semen BUMN Klaim Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca 14 Persen

Jum'at, 07 Januari 2022 | 22:11 WIB
Produsen Semen BUMN Klaim Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca 14 Persen
Karyawan PTSG melakukan cek akhir sebagai bukti kualitas SG selalu terjamin.[Semen Gresik]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Produsen semen milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Semen Indonesia Tbk (SIG) mengklaim terus menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam lini produksi mereka. Hal ini untuk mendukung program Pemerintah Indonesia terhadap isu perubahan iklim.

Wujud dari komitmen tersebut berupa keberhasilan SIG menurunkan intensitas emisi CO2 Scope 1 menjadi 607 kilogram CO2/ton semen ekuivalen atau turun 14,24 persen dari baseline tahun 2010. 

"Hal ini dicapai melalui inisiatif efisiensi konsumsi energi, penurunan faktor terak, serta peningkatan penggunaan limbah sebagai bahan bakar alternatif," kata Corporate Secretary SIG, Vita Mahreyni dalam keterangan persnya, Jumat (7/1/2022).

Bahkan, kata Vita, saat ini delapan pabrik milik perusahaan semen pelat merah ini sudah meraih predikat Proper Hijau, Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Baca Juga: Semen Gresik Tutup 2021 dengan Berbagai Prestasi Gemilang

Delapan pabrik SIG yang dimaksud adalah Group Head of Plant Operation (GHoPO) Pabrik Tuban, PT Semen Gresik (Pabrik Rembang), PT Semen Padang (Pabrik Indarung), PT Semen Tonasa (Pabrik Pangkep) dan PT Solusi Bangun Indonesia (Pabrik Tuban, Pabrik Narogong, Pabrik Cilacap serta Pabrik Lhoknga).

Proper Hijau merupakan kriteria bagi Perusahaan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih baik dari yang telah dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance), melakukan pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan dan mereka telah memanfaatkan sumber daya secara efisien serta melaksanakan tanggung jawab sosial dengan baik.

"SIG akan terus berinovasi dan memberikan solusi terhadap kebutuhan pembangunan untuk masa depan yang lebih baik," katanya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan butuh biaya jumbo alias super besar untuk mengatasi isu perubahan iklim yang saat ini terjadi di Indonesia, yakni sebesar Rp 300 triliun.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Adi Budiarso dalam sebuah webinar bertajuk Transisi ke Ekonomi Hijau, What Have We Done and Ways Forward, Kamis (6/1/2022).

Baca Juga: Semen Gresik Raih Apresiasi Proper Hijau dari Kementerikan Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Adi mengungkapkan kebutuhan biaya ini tidak sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah melainkan juga mengajak peran serta pihak swasta.

"Sebesar 27 persen APBN. Kami lakukan budget packing, kami juga beri budgeting ke pemerintah daerah. 33 persen berasal dari sektor swasta, sementara sisanya dari filantropi maupun investor," paparnya.

Untuk itu kata Adi, pihaknya mengajak para pelaku usaha untuk memulai berinvestasi pada ekonomi hijau, untuk membantu pemerintah mengatasi perubahan iklim ini.

"Di tengah pandemi, empat persen dari GDP (Gross Domestic Product) keluar di satu tahun saja untuk menghadapi bencana kesehatan," katanya.

Untuk mengatasi perubahan iklim Indonesia pun turut dalam komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) guna mengurangi emisi karbon 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.

Terdapat lima sektor yang emisi karbonnya akan dikurangi yakni kehutanan, energi, transportasi, limbah, dan pertanian.

"Energi dan transportasi walau nomor dua itu dari sisi cost luar biasa besar, ongkosnya sekitar Rp 300 triliun per tahun sendiri kebutuhan investasinya," pungkasnya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI