Suara.com - Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN secara resmi membuat Lembaga Biologi Molekuler Eijkman telah beroperasi hampir tiga dekade melebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Eijkman adalah lembaga pemerintah yang fokus dalam penelitian bidang biologi molekuler dan bioteknologi kedokteran.
Lembaga ini berada di bawah naungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebelum kini berubah nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman pasca bergabung dengan BRIN.
Nama lembaga Eijkman diambil dari Christiaan Eijkman, peraih nobel kedokteran yang melakukan penelitian mengenai penyakit beri-beri.
Baca Juga: Tim Waspada Covid-19 Eijkman Diambil Alih BRIN: Bersama Kita Pulih Kembali, Kami Pamit
Penelitian tersebut menjadi cikal-bakal lembaga ini pada awal dasawarsa 1900-an dan meletakkan dasar mengenai penemuan vitamin.
Sosok di atas adalah dokter syaraf sekaligus ahli mikrobiologi asal Belanda yang menjabat sebagai direktur pertama di lembaga tersebut pada 1888-1896.
Namanya dijadikan nama lembaga yang ia pimpin sebagai bentuk penghargaan atas pencapaian Eijkman, terlebih usai meraih penghargaan Nobel.
Lembaga ini tetap berjalan meski sang direktur pertama kembali ke negaranya. Sejumlah pakar dan dokter juga turut serta dalam perkembangan Eijkman.
LBM Eijkman berdiri usai dirilisnya Surat Keputusan Nomor 475/M/Kp/VII/1992 tentang Pendirian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada masa Presiden Habibie.
Baca Juga: BRIN Targetkan Laboratorium Animal BSL 3 dan CPOB Beroperasi Awal 2022
Mendiang Habibie pernah meminta lembaga ini untuk merambah ke ilmu biomolekuler dan mengangkat alumnus University of Monash, University Australia, Sangkot Marzuki jadi direkturnya.
Lembaga Eijkman memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu biomolekuler di Indonesia. Beragam riset yang berhasil mengungkap sejumlah kasus kesehatan di Indonesia juga dilakukan di lembaga ini.
Bahkan, salah satu alat yang benyak diperbincangkan belakangan ini, Real Time Polymerase Chain Reactor (RT-PCR) dan Genom Sequenser sudah ada di lembaga itu sejak hampir 30 tahun lalu.
Sejumlah penelitian mulai dari HIV-Aids, flu burung (H5N1), SARS-1, hingga virus penyebab COVID-19 juga ditelitik di lembaga Eijkman.
Belakangan, Eijkman jadi perbincangan media sosial lantaan adanya isu ratusan peneliti diberhentikan secara tidak layak. Namun demikian, Suara.com masih mengkonfirmasi kabar tersebut.