Suara.com - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai kenaikan cukai rokok rata-rata 12 persen pada 2022, hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi pemerintah dalam menggenjot penerimaan.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, cukai rokok dinaikan menjadi 12 persen itu belum efektif melindungi konsumen agar tidak semakin besar dalam mengkonsumsi rokok.
Oleh karena itu, Tulus mempertanyakan tujuan keputusan pemerintah kenaikan cukai menjadi 12 persen, apakah demi ekonomi interest (kepentingan)? Atau perlindungan konsumen maupun pengendalian tembakau.
"Saya melihat ini lebih ke ekonomi interest, artinya kenaikan cukai itu untuk penggalian pendapatan pemerintah. Apalagi, pendapatan pajak masih minim, sehingga pemerintah menggali dari sisi cukai," kata Tulus secara virtual, Selasa (14/12/2021).
Baca Juga: Pemerintah Klaim Kenaikan Tarif Cukai Tembakau 12 Persen Lebih Responsif
Menurut Tulus, seharusnya pemerintah menaikan cukai rokok lebih tinggi, di mana utamanya yaitu pengendalian tembakau daripada mengedepankan pendapatan negara.
"Harus lebih dominan instrumen pengendalian ini, kepentingan perlindungan konsumen harus lebih besar," ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah akhirnya menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk tahun 2022 dengan kenaikan rata-rata 12 persen.
Hal tersebut diutarakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konfrensi pers virtualnya, Senin (13/12/2021).
"Hari ini Bapak Presiden telah menyetujui dan sudah melakukan rapat koordinasi dibawah Bapak Menko Perekonomian kenaikan cukai rata-rata rokok adalah 12 persen," kata Sri Mulyani.
Baca Juga: Minta Kenaikan Cukai Tembakau Dibawah 10 Persen, APTI: Memberatkan Petani
Namun kata Sri untuk cukai rokok golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT), Presiden meminta kenaikannya hanya 4,5 persen.
"Untuk SKT, Bapak Presiden meminta kenaikan di 5 persen jadi kita menetapkan sebesar 4,5 persen maksimum," katanya.
Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif cukai rokok bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok yang setiap tahun mengalami kenaikan jumlah perokok, khususnya di kalangan anak dan remaja.
Selain itu juga tingginya tren rokok ilegal menjadi pertimbangan lain pemerintah dalam menaikkan tarif cukai rokok ini.
"Rokok ilegal meningkat dari 3 persen di 2019 menjadi 4,9 persen pada tahun 2020 dengan pelanggaran terbesar salah peruntukan," katanya.
Berikut pertimbangan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok untuk 2022:
Pertama, pengendalian konsumsi rokok. Rokok, menurut Sri Mulyani, menjadi komoditas kedua yang tertinggi sebagai komoditas pengeluaran di bawah beras. Di desa, rokok merupakan barang yang paling sering dibeli masyarakat, yakni sebesar 11,22 persen.
Dari sisi kesehatan, rokok memicu risiko stunting pada anak dan bisa memperparah Covid-19 atau 14 kali berisiko terkena Covid-19 kategori berat.
Kedua, aspek tenaga kerja, baik petani dan pekerja di sektor industri tembakau.
Ketiga, penerimaan negara karena hal ini diundangkan dalam UU APBN 2022 yang Rp193 triliun atau sepersepuluh penerimaan negara.
Keempat, aspek pengawasan barang kena cukai. Semakin tinggi harga, semakin besar potensi terjadinya produksi rokok ilegal, menurut Sri Mulyani.