Suara.com - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) mulai 1 Januari 2022 dengan kenaikan rata-rata 12 persen untuk golongan Sigaret Putih Mesin (SPM).
Namun untuk golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT) pemerintah hanya menaikkan tarif cukainya maksimal 4,5 persen saja.
Lantas apa pertimbangan pemerintah membedakan kenaikan tarif cukai ini?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan untuk SKT sendiri memang ada pesan khusus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa kenaikkannya tidak terlalu tinggi.
Baca Juga: Cukai Rokok Pada 2022 Diperkirakan Naik 14 Persen, Ternyata Ini Penyebabnya
"Bapak Presiden telah menyetujui dan sesudah dilakukan rapat koordinasi di bawah Bapak Menko Perekonomian, kenaikan cukai rata-rata rokok adalah 12 persen. Tapi untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), Presiden meminta kenaikan 5 persen, jadi kita menetapkan 4,5 persen maksimum,” ujar kata Sri Mulyani dalam konfrensi pers virtualnya terkait Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2022 ditulis Selasa (14/12/2021).
Sri Mulyani menegaskan, tarif cukai rokok jenis SKT dibuat lebih rendah dari jenis lainnya karena lebih banyak menyerap tenaga kerja, dan memanfaatkan produk-produk bahan rokok dari dalam negeri.
Sementara, SPM dan SKT lebih tinggi karena kebanyakan bahan bakunya impor serta minim menyerap tenaga kerja, Sayangnya, Menkeu tak menjelaskan lebih rinci alasan pemerintah membanderol kenaikan cukai SPM dan SKT yang lebih rendah dari kenaikan tahun lalu.
Dalam paparannya, Sri Mulyani menjelaskan pengenaan cukai ditujukan sebagai upaya pengendalian konsumsi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Cukai. Kebijakan cukai juga mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.
“Kenaikan itu pun bukan hanya mempertimbangkan isu kesehatan, tetapi juga memperhatikan perlindungan buruh, petani, dan industri rokok,” kata Sri Mulyani.
Baca Juga: Petani Tembakau Setiap Tahun Resah Akibat Kenaikan Cukai
Dia menyebut rokok menjadi pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di pedesaan. Angka tersebut lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein, seperti daging, telur, tempe, serta ikan.
"Sehingga rokok menjadikan masyarakat miskin. Harga sebungkus memang dibuat semakin tidak terjangkau bagi masyarakat miskin,” katanya.
Dari sisi kesehatan, rokok memicu risiko stunting pada anak dan bisa memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19 atau 14 kali berisiko terkena Covid-19 dibandingkan dengan bukan perokok. Di samping menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan.
"Ini membebani karena sebagian pasien Covid-19 ditanggung negara,” katanya.
Kebijakan CHT juga bertujuan untuk mengendalikan tingkat konsumsi rokok di masyarakat, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen di tahun 2024.
Adapun kenaikan tarif CHT turut mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Hal ini diundangkan dalam UU APBN 2022 sebesar Rp193 triliun. Selain itu, kebijakan CHT juga penting sebagai mitigasi atas dampak kebijakan yang berpotensi mendorong rokok ilegal.
“Semakin tinggi harga, semakin besar potensi terjadinya produksi rokok ilegal,” ujar Menkeu.