Pakar Hukum Bisnis Buka Suara Terkait Wacana Hukuman Mati di Kasus Asabri

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 09 Desember 2021 | 05:24 WIB
Pakar Hukum Bisnis Buka Suara Terkait Wacana Hukuman Mati di Kasus Asabri
Ilustrasi hukum (istockphoto)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Dr. Budi Kagramanto mengatakan jika nantinya tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat dalam kasus PT Asabri dikabulkan, maka akan berdampak negatif terhadap perkembangan dan kemajuan industri pasar modal dan investasi di dalam negeri.

"Jika nantinya putusannya hukuman mati atau misalnya penjara seumur hidup sekalipun bagi Heru Hidayat itu tetap berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan industri pasar modal dan investasi di dalam negeri. Oleh karena itu sejak awal harus benar-benar dikawal penanganan perkaranya di pengadilan negeri oleh tim kuasa hukum Heru Hidayat," kata Prof Budi ditulis Kamis (9/12/2021).

Selain itu, menurutnya jika majelis hakim mengabulkan dan Heru Hidayat benar-benar divonis hukuman mati, lalu banding hingga kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA) dan permohonan grasi kepada presiden ditolak, tetap saja akan berpengaruh negatif terhadap pasar modal dan investasi.

"Waduh sejujurnya akan repot sekali, karena bisa berpengaruh terhadap keinginan masyarakat maupun investor yang semakin menurun dan berkurang untuk melakukan penanaman modal di Indonesia nantinya. Makanya jangan sampai hal itu terjadi," ujar Budi.

Baca Juga: Selain Heru Hidayat, Ini 2 Koruptor yang Pernah Dituntut Hukuman Mati

Selain itu, Prof Budi pun terkejut dengan tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat yang berbeda dengan surat dakwaan.

"Saya melihat tuntutan hukuman mati oleh jaksa penuntut umum terhadap Heru Hidayat, tapi kok (tuntutannya) berbeda dengan dakwaan jaksa," ucapnya.

Ia pun mempertanyakan apakah sudah saatnya ketika seorang pengusaha yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman mati? Menurutnya, hal ini belum pernah ada, kecuali pada kasus narkoba atau terorisme yang pelakunya dijatuhi hukuman mati.

Menurutnya, jika kasus tersebut dibandingkan dengan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang notabene adalah pejabat tinggi yang telah disumpah, namun melakukan korupsi di tengah pandemi Covid-19 saat kondisi perekonomian negara dan rakyat sedang kacau serta krisis, sangatlah berbeda jauh. Juliari sebelumnya hanya dituntut 11 tahun penjara oleh jaksa, kemudian divonis penjara 12 tahun oleh majelis hakim.

Prof Budi menyebut bahwa bentuk kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime di Indonesia itu antara lain adalah terorisme, narkoba, kemudian korupsi. Tetapi, menurutnya, kalau tindak pidana korupsi di bidang asuransi dan pasar modal seperti kasus Heru Hidayat ini, dimanapun belum pernah ada yang dijatuhi hukuman mati.

Baca Juga: Soroti Kasus Heru Hidayat, Haris Azhar Sebut Hukuman Mati Akan Dibatalkan Jika...

"Hanya saja dikhawatirkan jika memang itu nanti betul-betul keputusan Mahkamah Agung menyatakan Heru Hidayat terbukti bersalah dalam tindak pidana pasar modal, jelas akan mempengaruhi perekonomian nasional apalagi jika dijatuhkan hukuman mati. Wahh itu sangat berat dan sangat riskan bagi perekonomian dan perkembangan investasi di Indonesia," kata Prof Budi.

Selain itu, para investor luar negeri dan dalam negeri yang mau menanamkan modalnya di Indonesia, mereka menjadi khawatir. Namun, Prof Budi menyebut bukan berarti jika mereka melakukan tindak pidana korupsi ekonomi dibiarkan saja, tetap harus ada proses hukum yang berlaku.

"Namun apabila dijatuhkan sanksi hukuman mati ya pengaruhnya besar. ndonesia saat ini masih membutuhkan investasi besar bagi kelanjutan pembangunan ekonomi dan infrastruktur dengan mengundang investor pasar modal, baik luar negeri maupun dalam negeri," tuturnya.

"Investor pasti was-was, bisa jadi ada yang membatalkan rencana untuk investasinya, bahkan berpengaruh bagi investor yang sudah terlanjur menanamkan modalnya di Indonesia. Jadi pengaruhnya bergulir sampai situ," ucapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan investor dan para emiten di pasar modal pasti akan berpikir dua kali jika ingin melakukan kerja sama atau bermitra dengan Perusahaan BUMN lainnya.

"Yang dikhawatirkan adalah dampaknya kepada para investor atau emiten. Mereka bisa membatalkan atau menolak jika bersinggungan atau berurusan dengan perusahaan BUMN pada umumnya bukan hanya dengan perusahaan asuransi saja. Jelas berpengaruh bagi BUMN lain, ketika mereka harus bermitra dengan emiten di pasar modal, mereka akan khawatir," ucap Budi.

Karena menurutnya ini adalah pertama kali kasus BUMN asuransi dengan emiten di pasar modal yang ancaman hukumannya atau tuntutan hukumannya sampai seumur hidup bahkan hukuman mati.

"Tapi imbasnya, ada kekhawatiran bagi BUMN lain ketika mereka harus berurusan atau membeli saham saham dari perusahaan emiten di pasar modal.” tuturnya.

Dirinya pun heran dan mempertanyakan apakah kasus tersebut merupakan gagal bayar atau murni kerugian negara.

"Kalau asuransi Jiwasraya-Asabri itu BUMN yang pemegang sahamnya pemerintah, tapi kan premi yang harus dibayar sebetulnya berasal dari para nasabah," kata Prof Budi.

Kemudian, Prof Budi menyebut bahwa Kejaksaan Agung seharusnya bisa membedakan mana uang negara, mana yang bukan uang milik negara.

"Harus dipisah secara tegas, yang diutik-utik Heru Hidayat kan duit nasabah yang tidak terkait dan tidak menggangu keuangan negara. Itu memang harus dibedakan," ujarnya.

"Nah kalau seperti itu kan ya mestinya ranah perdata tetapi kemudian diseret ke ranah pidana korupsi, dan pada akhirnya bermuara pada tuntutan maupun dakwaan hukuman mati dan penjara seumur hidup. Kalau itu betul-betul hukuman mati, ya tentunya akan berdampak pada iklim usaha yang kondusif. Kan iklim usaha yang kondusif itu dibangun dan berkorelasi dengan semakin banyaknya investasi yang masuk ke Indonesia, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Repot kalau putusannya hukuman mati," ucap Budi menambahkan.

Terkait dengan tuntutan yang berbeda dengan dakwaan, menurutnya itu harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum majalis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan.

"Harus sudah fix antara dakwaan dan tuntutan yang berbeda. Walaupun nanti misalkan hukuman seumur hidup atau hukuman mati pasti Heru Hidayat akan lakukan banding ke PT hingga ke MA," kata Budi.

Prof Budi pun tak habis pikir dengan tuntutan hukuman mati dan pengembalian kerugian negara senilai Rp 12 triliun lebih oleh Heru Hidayat. Menurutnya, sanksi hukuman mati dalam kasus tersebut sebetulnya merupakan shock therapy luar biasa bagi terdakwa kasus korupsi di Indonesia.

"Waduh, lah iya itu jadi shock therapy luar biasa bagi terdakwa kasus korupsi di Indonesia, dengan adanya tuntutan hukuman mati dan pengembalian aset senilai 12 miliar? walah 12 triliun? uang yang tidak sedikit itu.” kata dia.

"Tuntutan hukuman mati terkesan mendadak banget. Apakah hal ini adil ? Sudah disuruh mengembalikan duit 12 Triliun lebih, tapi masih harus menjalani hukuman mati juga?" ujarnya.

Lebih lanjut, Budi mengusulkan adanya reformasi regulasi terkait pengawasan serta perlindungan hukum bagi emiten oleh OJK dan BEI.

"Khususnya pada industri asuransi dan pasar modal. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah perusahaan asuransi dan pasar modal melakukan pelanggaran-pelanggaran lebih jauh terhadap regulasi OJK dan BEI di masa mendatang," tuturnya.

Sementara Analis Senior CSA Research Institute, Reza Priyambada juga mengatakan hal serupa dengan Prof Budi, bahwa tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat yang notabene seorang pebisnis di pasar modal, akan berdampak terhadap iklim investasi di Indonesia, meskipun tujuannya untuk memberi efek jera.

Ia pun mempertanyakan apakah tujuannya untuk memberikan efek jera, atau sentimen dari penegak hukum terhadap para pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi di pasar modal.

"Atau ketidaktahuan penegak hukum akan penanganan kasus tersebut, sehingga dengan cepat mengambil tuntutan tersebut (hukuman mati)," katanya.

Kalau ingin memberikan efek jera, kata dia, harusnya semua pelaku pelanggaran seperti yang dimaksud harus equal (sama) dengan pelaku pelanggaran lainnya. Dirinya pun mengibaraktan jika seseorang mencuri sebuah mobil, dan satu orang lainnya mencuri sendal di masjid.

Menurutnya seharusnya hukumannya sama beratnya, karena perbuatan mencuri dianggap pelanggaran hukum. Namun pencuri mobil hanya dituntut 2 bulan potong remisi, sementara pencuri sendal di masjid dituntut 2 tahun tanpa remisi.

"Aneh kan?" ujar Reza.

Selain itu, Reza mengatakan bahwa tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat sangatlah berpengaruh terhadap iklim investasi di Indonesia, termasuk pada pasar modal.

"Kalau dianggap berpengaruh, jelas akan berpengaruh karena pelaku pasar akan melihat seberapa benar penanganan kasus investasi tersebut," ucapnya.

Nantinya, bisa jadi upaya restrukturisasi portofolio akan dianggap pelanggaran hukum sehingga orang akan cari aman.

"Kalau perlu tidak usah berinvestasi di surat berharga daripada nantinya diminta pertanggungjawaban," ujarnya.

Reza pun merasa aneh terhadap penanganan kasus Asabri oleh Kejaksaan Agung, karena menurutnya jaksa harus melihat kasusnya dalam ranah pasar modal.

"Nah, itu yang aneh (penanganan kasusnya). Hukuman mati itu juga harus dilihat kasusnya (dalam ranah pasar modal)," ucapnya.

Ia menyebut bukan masalah HAM, tetapi soal penanganan kasus tersebut yang jelas-jelas melakukan korupsi tidak semua dihukum mati.

"Lah, ini masalah restrukturisasi portofolio malah dihukum mati. Harus ada kejelasan penanganan kasus hukum ini. Kalo tidak, orang akan cemas untuk melakukan investasi di Indonesia," kata Reza.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI