Suara.com - Sebuah desa bernama Desa Ngadas, yang terletak di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, merupakan desa potensial yang mendukung pariwisata nasional.
Desa ini masuk kawasan wisata Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Lalu lalang wisatawan, yang merupakan pelancong Gunung Bromo menjadi hal rutin keseharian warga desa.
Beruntunglah, Program Pamsimas masuk ke desa tersebut sejak 2015. Program ini menyempurnakan keberadaan Desa Ngadas, yang semakin terbantu dalam pengadaan air minum dan sanitasi yang memadai.
Sejak dulu, masyarakat Desa Ngadas terkenal dengan kebiasaan guyub warganya dan merupakan warga yang terbiasa dengan gotong royong. Dua kebiasaan ini merupakan warisan adat istiadat Suku Tengger, yang tinggal di desa-desa sekitar Gunung Bromo.
Baca Juga: Kementerian PUPR Janji Percepat Perbaikan Infrastruktur Wilayah Terdampak Erupsi Semeru
Guyub dan gotong royong sering terlihat dalam ritual keagamaan, upacara-upacara, dan pada hari raya besar Yadya Kasada, yang digelar setiap bulan Kasada hari ke 14 dalam penanggalan Jawa.
Guyub dan gotong royong juga tampak pada setiap kegiatan warga yang hajatan, membangun rumah, dan memperbaiki jalan yang terkena longsor. Guyub dan gotong royong yang dimaksud di sini bisa dalam bentuk dana maupun tenaga.
Adat istiadat Suku Tengger dapat terpelihara berkat hubungan erat antara pandita dukun dan kepala desa. Pandita dukun adalah pelaksana adat dan pemimpin kegiatan spiritual, sedangkan kepala desa merupakan penanggung jawab pelaksanaan adat dan kegitan spiritual.
Tugas kepala desa adalah menghubungkan antara sekala dan niskala. Sekala yang kelihatan atau kehidupan dunia, sedangkan niskala adalah yang tidak kelihatan, yang gaib, dunia spiritual.
Sebelum Program Pamsimas datang, Warga Desa Ngadas harus berjalan kaki sejauh 2-3 kilometer untuk mendapat air minum. Itulah sebabnya, Pamsimas disambut gembira oleh warga desa.
Baca Juga: Sistem Informasi Manajemen (SIM) Jadi Kunci Sukses Program Pamsimas
Ketika Program Pamsimas bertemu adat istiadat Suku Tengger, langsung “klik”. Dana desa 10 persen yang disyarakatkan Program Pamsimas terkumpul dengan mudah. Kontribusi masyarakat senilai 20 persen pun tidak sulit dipenuhi.
Setelah melalui prosesi ritual, air dari tiga sumber yang posisinya di bawah Desa Ngadas pun berhasil dinaikkan dengan dua mesin pompa ke tendon setinggi 70 meter.
Air dari tendon kemudian dialirkan dengan pipa ke rumah-rumah warga dengan cara gravitasi. Semua sarana pengadaan air minum ini dikerjakan warga dengan cara gotong royong, yang didampingi para fasilitator Pamsimas.
Pencarian air di Desa Ngadas disertai dengan semedi atau persembahyangan (niskala), yang kemudian ditunjukkan ke sumber air di bukit savana tadi, padahal di bukit berbatu itu, sebelumnya sulit ditemukan air minum.
Pada 2016, dana desa terkumpul Rp306 juta, dan digunakan untuk membiayai pengerjaan sambungan pipa dari mata air di bukit savana ke pemukiman warga sejauh 15 kilometer dan membangun bak penampung. Pengerjaannya selesai dalam 1 bulan, dengan pemberdayaan masyarakat melalui gotong royong.
Berkat pengadaan air itu, seluruh warga Ngadas pun sudah bisa menikmati air minum melalui 207 sambungan rumah. Bahkan airnya berlebihan, sehingga bisa membantu mengairi satu kampong di desa tetangga, yaitu Desa Wonokerto. Kampung ini berada di bawah Desa Ngadas. Iuran dari warga juga sudah bisa untuk membiayai keberlangsungan kucuran air minum ke rumah-rumah warga.
Iuran dipatok Rp3 ribu/bulan per 0-10 ribu meter kubik dan Rp7 ribu di atas 10 ribu meter kubik.
Keberhasilan itu kemudian diapresiasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Desa Ngadas pun menerima Pamsimas Award Tahun 2017, sebagai desa terbaik.
Terbukti, Program Pamsimas mampu menjadi berkah bagi Desa Ngadas dan semakin menyemarakkan wisata nasional.
Indah Raftiarty ER
Pranata Humas Ahli Muda Kementerian PUPR