Suara.com - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengkritik kisruh Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, dengan juru Kementerian BUMN.
Menurut dia, komisaris turut bertanggung jawab atas kinerja perusahaan yang dipimpin. Sehingga, bila beberapa waktu lalu Presiden memarahi Direktur Utama Pertamina maka sama artinya Presiden sedang memarahi Dewan Komisaris pula.
Ahok selaku Komisaris Utama harusnya bisa membantu Pertamina mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapi bukan malah memperkeruh suasana dengan bicara sembarang.
"Ahok harusnya paham dengan sistem tanggung renteng dalam pengelolaan perusahaan negara ini. Bukan malah bicara seolah dirinya bukan bagian dari Pertamina. Sebagai komisaris utama Ahok harusnya banyak bekerja bukan malah banyak bicara. Dia tidak bisa lepas tangan dengan kondisi Pertamina sekarang," tegas Mulyanto.
Baca Juga: Pemprov Riau Ingin Blok Rokan Produksi Minyak Bumi 100.000 Barel/Hari
Ia melanjutkan, saat ini Pertamina memiliki tugas menekan impor BBM termasuk gas LPG, yang selama ini menyumbang signifikan bagi defisit transaksi perdagangan, khususnya sektor migas.
Selain itu, mengutip Warta Ekonomi, Pertamina juga berkewajiban melakukan transformasi pemanfaatan energi fosil menjadi energi yang lebih bersih melalui strategi transisi energi.
Sehingga, ia berharap, daripada berpolemik dengan kementerian BUMN, Ahok seharusnya fokus mendorong pembangunan kilang GRR Tuban.
Pertamina berencana menambah 2 kilang baru, yakni Kilang GRR Tuban dengan kapasitas terpasang 300 ribu bph (barel per hari) dan Kilang Bontang. Namun realisasinya belum meyakinkan. Pembangunan Kilang Tuban terus molor, Sedang pembangunan Kilang Bontang dibatalkan.
Dari total 6 buah kilang yang ada dihasilkan BBM sebanyak 850 – 950 ribu bph.
Baca Juga: KPK Segera Sidangkan Eks Politikus PKS Yudi Widiana Terkait Kasus Pencucian Uang
Melihat kebutuhan BBM hari ini yang sebesar 1.6 juta barel, maka praktis kekurangannya sebesar 800 ribu bph dipenuhi dari impor, yang mendominasi defisit transaksi migas kita sebesar 7 milyar USD ditahun 2020.