Suara.com - Rencana pemerintah dalam menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada tahun anggaran 2022 bukan tidak mungkin akan berdampak negatif pada industri hasil tembakau.
Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022 target cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2022 adalah kurang lebih Rp 193 triliun atau naik sebesar 11,9 persen (Rp 20 triliun) dari target tahun 2021.
Anggota Komisi XI Willy Aditya yang juga merupakan Wakil Ketua Fraksi Nasional Demokrasi tersebut mengatakan selain menurunkan produktivitas IHT, kenaikan CHT juga akan menyuburkan pasar rokok ilegal, apalagi dalam situasi pemulihan saat ini.
Selain itu, Willy Aditya, Anggota DPR yang berasal dari salah satu kawasan sentral tembakau nasional, Madura, menyatakan bahwa ia terus menerus mendapatkan keluhan dan penolakan terhadap kenaikan tarif CHT dari para pekerja di sektor IHT dan para petani atas kelangsungan hidup mereka. Ia juga menyatakan bahwa para petani juga sudah bergerak untuk mengirimkan surat secara langsung kepada Presiden Jokowi.
Baca Juga: Hilang 4 Hari, Tubuh Awak Kapal Pengangkut Rokok Ilegal Ditemukan Mengambang
"Jangan sampai kita harus menanggung konsekuensi atas semakin banyaknya petani dan pekerja SKT yang terdampak di masa sulit ini,” kata Willy ditulis Selasa (30/11/2021).
Tidak hanya para petani di Madura, petani di sentra tembakau lain di pulau Jawa juga memiliki keresahan yang sama. Sekjen Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Triyanto, mengatakan kenaikan tarif CHT yang eksesif akan merusak rantai perdagangan IHT dengan memaksa pabrik untuk terus mengurangi produksinya.
“Jika produksi dikurangi, maka serapan bahan baku yang dipasok oleh petani juga berkurang. Tidak hanya petani, pekerja di pabrik juga menghadapi situasi yang berat,” kata Triyanto.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PBNU Mochammad Maksum Machfoedz mengatakan banyak kebijakan pemerintah atas CHT yang dilakukan hingga saat ini cukup tendensius terhadap penerimaan tanpa adanya porsi keberadilan bagi industri, buruh, dan petani tembakau. Pemerintah kurang memberikan perhatian lebih sebagai kompensasi kebijakan CHT terhadap petani dan buruh IHT.
“Banyak penelitian yang dilakukan pihak tertentu hanya menyudutkan dan mematikan IHT” katanya.
Baca Juga: Pemkab Sleman Raih Rp1,6 Miliar dari Pengembalian Cukai Tembakau Tahun Ini
Karena pertimbangan tersebut, Maksum Machfoedz berharap pemerintah untuk lebih berhati-hati terhadap keputusan kenaikan tarif CHT karena kebijakan tersebut akan berdampak langsung pada jutaan masyarakat.
Pengambilan kebijakan CHT perlu berlandaskan pada kajian mendalam yang berkeadilan bagi petani, buruh, industri, konsumen, dan negara dengan basis data dan metodologi penafsiran yang akurat.
Ancaman meningkatnya peredaran rokok ilegal bukanlah isapan jempol semata. Sebab, selain tarif CHT yang mempengaruhi produksi IHT, konsumen juga akan memiliki beban tambahan dari keputusan pemerintah tersebut. Seperti yang diketahui tidak hanya tarif cukai saja yang akan dinaikkan, tapi komponen pajak pertambahan nilai (PPN) yang menjadi kewajiban konsumen juga akan dikerek naik.
Melansir data Kementerian Keuangan, PPN produk IHT untuk tahun depan akan dinaikkan menjadi sebesar 11-12 persen. Kalkulasi saat ini sedang digodok Kementerian Keuangan sebelum diresmikan melalui keputusan sidang kabinet untuk menentukan tarif fiskal resmi terhadap produk IHT seperti cukai dan PPN.
Dalam survei rokok ilegal yang dilansir oleh Indodata pada Agustus lalu dengan 2.500 koresponden dari segala segmen umur dari seluruh daerah tersebut menyatakan 28,12 persen perokok di Indonesia pernah atau sedang mengkonsumsi rokok ilegal.
Artinya, sekitar 127,53 miliar batang yang beredar di masyarakat merupakan produk ilegal yang tidak membayar cukai ke pemerintah dan tidak mendapat jaminan keamanan dalam pembuatannya. Berdasarkan jumlah konsumsi rokok ilegal per hari dari total konsumsi rokok, maka presentase yang dihasilkan menjadi 26,30 persen atau sebanyak 29.284 batang.
Dari angka tersebut setidaknya negara mengalami kebocoran pundi-pundi sebanyak Rp 53,18 triliun. Adapun yang menjadi penyebab utama masyarakat beralih ke produk ilegal adalah persoalan harga. Kenaikan PPN diprediksi akan meningkatkan risiko beralihnya masyarakat dari produk legal ke produk ilegal.
Direktur Industri Minuman, Industri Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Edy Sutopo mengakui kalaupun tarif harus naik, Kementerian Perindustrian akan memberikan masukan agar tarifnya tidak naik terlalu tinggi.
“Kami kurang sepakat jika cukai dinaikkan terlalu tinggi. Harus hati-hati tentang kenaikan tarif CHT ini, karena Indonesia masih membutuhkan industri IHT. Kalau industri ini mampu bertahan, bukan tidak mungkin industri ini akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan negara," katanya.
Data Kementerian Perindustrian menyatakan, sepanjang tahun 2020 lalu setidaknya 4.500 tenaga kerja di sektor IHT yang di-PHK. Edy mengatakan data tersebut bisa saja lebih besar karena banyak pabrik dengan pertimbangannya masing-masing yang kurang disiplin dalam pelaporannya. Keluhan petani pun, ujar Edy, sering datang karena penyerapan bahan baku tembakau yang kian menurun.
“Pertimbangan yang harus dipikirkan dalam kebijakan CHT memang banyak dan tidak mudah karena bersentuhan dengan banyak orang dan multisektor,” kata Edy.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad turut mengatakan kenaikan eksesif tarif CHT di saat seperti ini kurang tepat. Sebab, meskipun penularan COVID-19 bisa terkendali, masa pemulihan akibat dampak masif yang ditimbulkan selama dua tahun terakhir membutuhkan periode multiyears.
“Rokok adalah produk konsumsi nomor dua, yang amat penting untuk menyokong ekonomi negara. Dan di sisi lain merupakan industri padat karya yang melibatkan jutaan orang,” kata Ahmad.
Ahmad mengatakan akan lebih baik jika pemerintah memiliki formula baku dalam setiap kebijakan cukai rokok termasuk dalam kebijakan kenaikan tarif. Formula tersebut merupakan gabungan pertimbangan dan data dari berbagai dimensi terkait seperti aspek kesehatan, tenaga kerja, penerimaan negara, petani, hingga pemantauan rokok ilegal.
Menurutnya saat ini, arah kebijakan terkait cukai rokok kurang memenuhi aspek keberadilan bagi seluruh pemangku kepentingan terkait.
“Maraknya rokok ilegal juga perlu mendapat perhatian khusus. 2020, kenaikkan CHT mencapai 23,5 persen membuat tingkat peredaran rokok ilegal mencapai 4,86 persen dengan taksiran kerugian negara Rp 4,38 triliun. Itu hanya hitungan yang ditangkap belum memperhitungkan rokok ilegal yang belum ketahuan,” tutup Ahmad.