Suara.com - Tak hanya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saja yang ketar-ketir terhadap ancaman kaburnya dana asing dari Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun merasakan hal yang sama.
Sri Mulyani mengatakan dinamika perekonomian global membawa risiko disrupsi suplai dan aliran modal, tingginya angka inflasi di sejumlah negara maju membuat bank sentral masing-masing negara ingin menaikkan suku bunga acuannya.
"Ini perlu diwaspadai karena dampaknya ke seluruh dunia termasuk Indonesia karena kalau itu terjadi di negara negara maju mereka (negara maju) akan dipaksa pengetatan moneter dan capital outflow dan pengetatan nilai tukar," kata Sri Mulyani dalam sebuah webinar, Selasa (23/11/2021).
Menurutnya, negara maju mengalami kenaikan inflasi serta kenaikan harga komoditas dan semuanya mendorong kenaikan secara drastis. Apalagi, beberapa negara menaikan defisitnya pada keuangan negara.
Baca Juga: Sri Mulyani Bisa Tagih Pajak WNI yang Ada di Luar Negeri
"Negara maju dalam pilihan sulit," imbuhnya.
Lanjutnya, Indonesia tidak bisa mengontrol kondisi global. Namun pemerintah dapat mengatur kebijakan fiskal untuk merespons perkembangan kondisi itu.
"Dalam proses pemulihan ini lingkungan global tidak statis, dinamis, atau cenderung volatil," katanya.
Selain itu, Indonesia harus mampu terus menjaga pulihnya permintaan (demand) tanpa membawa dampak inflasi berlebih. Menurutnya, saat ini muncul risiko disrupsi suplai (supply disruption) ketika perekonomian nasional tumbuh, tetapi sejalan dengan kondisi global bahwa terdapat potensi kenaikan inflasi.
"Kita perlu waspada supply disruption, apabila demand lebih cepat dari supply-nya, ini membentuk demand side inflation," kata Sri Mulyani.
Baca Juga: Prospek Ekonomi 2022 Makin Cerah, Tetapi Menko Airlangga Hartarto Minta Tetap Waspada
Sebelumnya Menko Airlangga tampak was-was dengan rencana Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve yang kembali memberi sinyal akan lebih cepat melakukan tapering off atau menaikkan suku bunganya.
Kondisi tersebut kata Airlangga akan berdampak pada kaburnya dana asing dari Indonesia.
"Peningkatan suku bunga, nantinya berdampak pada capital flight di negara berkembang termasuk Indonesia karena di sana tingkat bunganya lebih tinggi dari negara berkembang," kata Airlangga dalam webinar Economic Outlook 2022, Senin (22/11/2021).
Untungnya kata Airlangga, saat ini kondisi likuidtas Indonesia dalam kondisi yang sangat baik, mengingat neraca perdagangan Indonesia sudah mencatatkan surplus 18 bulan berturut-turut, serta devisa yang cukup.
"Kita punya neraca dagang positif dan devisa yang tinggi dan bisa menekan perdagangan," katanya.
Selain itu kata dia, The Fed juga berencana untuk menurunkan tingkat obligasi pemerintahnya hingga 50 persen. Semula direncanakan USD10 miliar menjadi USD5 miliar sampai bulan Juni 2022.
"The Fed diperkirakan akan menurunkan tingkat obligasi pemerintahnya yang direncanakan dari USD10 miliar menjadi USD5 miliar hingga Juni 2022," katanya.
Sebelumnya The Fed sudah melaksanakan tapering secara bertahap dari stimulus moneter yang berjalan, dan direncanakan akan berakhir pada pertengahan 2022. The Fed juga menyebutkan akan menaikkan suku bunga acuannya pada akhir 2022 mendatang.
Kekhawatiran tingginya inflasi di AS juga memicu spekulasi kenaikan suku bunga yang lebih cepat dari rencana sebelumnya, mendukung dolar AS menguat. Sementara harga emas masih bisa bertahan karena bisa digunakan sebagai lindung nilai dari ancaman inflasi.