Suara.com - Air merupakan sumber daya alam yang sangat berharga yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa bagi kelangsungan hidup manusia. Sejatinya, keberadaan sumber daya air harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup serta dijamin agar setiap orang mendapatkan haknya atas sumber daya alam tersebut.
Namun, pertambahan penduduk yang meningkatkan kebutuhan terhadap sandang, pangan, papan, air bersih dan energi seringkali mengakibatkan eksploitasi terhadap sumber daya alam semakin tinggi serta cenderung mengabaikan aspek-aspek lingkungan hiduap. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Food Programme telah mewanti-wantinya. Pada awal 2020, PBB menyebut, Afrika bagian selatan telah berada dalam situasi darurat iklim. Dalam pernyataannya jugadisebutkan bahwa kekeringan bertahun-tahun, di samping kondisi ekonomi yang kacau balau, telah menimbulkan krisis kelaparan dalam skala yang belum pernah di saksikan sebelumnya dan, tentu saja, kelangkaan air yang bertambah parah.
Situasi serupa bisa pula terjadi di Asia, khususnya bagian selatan. Penyebabnya, sebagaimana dikemukakan para ahli dalam webinar “Impacts of Climate Change on South Asian Monsoon” yang diselenggarakan Comsats Center for Climate and Sustainability pada Agustus 2020, adalah aliran kelembaban udara yang semakin sulit diperkirakan. Padahal inilah yang mendatangkan 70 persen hujan di kawasan itu. Tanpa tindakan penanggulangan yang drastis, situasinya bisa bertambah buruk.
Intergovernmental Panel on Climate Change berekspektasi bencana, yang sebagian besar berkaitan dengan air, bakal meningkat di seluruh dunia. Mereka yang paling miskin, yang sebetulnya berkontribusi sangat sedikit dalam gelombang pertambahan emisi gas rumah kaca, penyebab perubahan iklim, adalah pihak yang paling terpukul.
Baca Juga: Polisi Periksa Intensif WNA Timteng Penyiraman Istrinya Pakai Air Keras
Di Indonesia sejauh ini belum ada riset mendalam yang memang berfokus kepada perubahan iklim dan dampaknya terhadap ketersediaan air. Meski demikian, dengan rata-rata hujan tahunan yang telah menurun dalam 80 tahun terakhir, dua ekstrem dari krisis air ini mengkonfrontasi Indonesia: permukaan laut yang naik serta banjir parah di beberapa daerah, dan musim kering yang masanya semakin panjang. Mengenai kekeringan, pada 2019 paling tidak ada 11 provinsi yang mengalaminya; beberapa kabupaten bahkan sempat menyatakan keadaan darurat. Memang, tidak setiap anomali cuaca terjadi semata-mata karena perubahan iklim. Tapi perubahan iklim jelas meningkatkan intensitas dan frekuensinya.
Dengan adanya tantangan perubahan iklim, keamanan atau ketahanan ketersediaan air secara nasional berpeluang menghadapi kesukaran. Fakta bahwa Indonesia termasuk negara yang kaya air, dan jumlahnya cukup untuk keperluan menyediakan air minum bagi penduduknya, hanya akan bertahan sebagai pengetahuan atau romantisasi belaka karena bukan saja pendistribusiannya ke semua pulau berpenghuni sulit dilakukan, melainkan juga, dalam kenyataannya, tekanan terhadap ketersediaan dan keamanannya bertambah besar.
Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa perubahan atau krisis iklim adalah (juga) krisis air. Tentu saja, situasi dunia yang semakin tak pasti dan menggerunkan itu menuntut tindakan yang tak biasa: perlu ada langkah pengurangan emisi secara radikal, bahkan ambisius, serta kebijakan yang menjadikan masyarakat lebih ulet, berdaya untuk bangkit di tengah krisis. Tindakan-tindakan ini dibutuhkan agar konsekuensi dari situasi yang ada dapat dikelola.
Sehubungan dengan itu, Indonesia terikat dengan komitmennya kepada Paris Agreement, yang telah diratifikasi pada 22 April 2016. Paris Agreement merupakan ikrar bersama negaranegara di dunia untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celcius. Dalam perjanjian ini Indonesia menetapkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030, atau 41 persen dengan dukungan dunia internasional.
Dalam praktiknya, berdasarkan apa yang disebut kewajiban penurunan emisi secara spesifik yang disusun sendiri oleh negara yang bersangkutan, arah berbagai kebijakan pemerintah justru tidak menimbulkan keyakinan bahwa Indonesia berada di jalur yang benar. Keraguan khususnya berlaku untuk sektor energi. Perihal isu ini bisa disimak, misalnya, dalam kajian ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) berjudul “Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia” yang dipublikasikan pada Desember 2020. Hl itulah yang juga mesti menjadi landasan dalam menghadapi masa pasca-Pamsimas.
Baca Juga: Paspor Diblokir, WNA Penyiram Air Keras ke Istri Tak Bisa Kabur ke Timur Tengah
Kolaborasi Antar Pihak sangat Dibutuhkan
Tapi, meski adanya perubahan iklim, akibatnya di perdesaan tidaklah ekstrem, tak seperti di perkotaan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kalau cuacanya berubah, mata air kecil di satu desa yang dulu ada jadi hilang.
Dalam hal ini, ke depan, yang dibutuhkan adalah adanya kerja sama antardesa, atau antara desa dan perusahaan daerah air minum yang pengambilan airnya melalui suatu desa. Sebab, banyak mata air potensial, tapi karena hanya ada di satu desa, seakan-akan menjadi milik desa itu, padahal berlebih.
Ambil contoh yang terjadi di satu desa di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di desa itu terdapat mata air besar yang melalui wilayah desa Pamsimas. Di desa Pamsimas ini ada mata air kecil yang hilang pada musim yang sangat kering. Kalau dimanfaatkan melalui program Pamsimas itu aman.
Novi Rindani, ST MT
Ketua CPMU Pamsimas