Krisis Pengembangan Properti Tiongkok Alami Gagal Bayar Utang

Iwan Supriyatna Suara.Com
Selasa, 23 November 2021 | 07:43 WIB
Krisis Pengembangan Properti Tiongkok Alami Gagal Bayar Utang
Investasi properti. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kabar cukup menggemparkan datang dari adanya krisis utang yang melanda Evergrande, salah satu perusahaan properti raksasa dari Tiongkok. Perusahaan tersebut memiliki total liabilitas sekitar US$ 305 miliar. Krisis ini dikhawatirkan dapat meruntuhkan stabilitas keuangan Tiongkok maupun global.

Hal ini terjadi karena buruknya sistem yang telah sekian lama dijalankan perusahaan properti di Tiongkok, dimana perusahaan memanfaatkan utang sebesar - besarnya sebagai modal kerja usaha sehingga menyebabkan pemerintah Tiongkok menerapkan kebijakan baru yang disebut ‘three red lines’.

Pada dasarnya, kebijakan ini dicanangkan untuk menekan pertumbuhan utang perusahaan dengan mengatur batasan tiga rasio kredit utama untuk menjaga likuiditas perusahaan agar tetap berada di zona yang aman.

Kebijakan ini yang menyebabkan Evergrande mengalami gagal bayar. Selain itu, hal ini juga berdampak pada perusahaan - perusahaan pengembang lain, dimana satu persatu dari mereka mulai merasakan efek yang sama seperti yang dialami Evergrande.

Seperti pengembang properti kelas menengah Fantasia Holdings yang melewatkan pembayaran obligasi senilai US$ 205,7 juta, ditambah dengan unit bisnis perusahaan yang secara terpisah juga gagal membayar pinjaman sebesar US$ 108 juta.

Sedangkan pengembang properti lain seperti Modern Land meminta investor untuk perpanjangan 3 bulan pada obligasi US$ 250 juta yang akan jatuh tempo 25 Oktober.

Lalu bagaimanakah dampak dari kondisi krisis Evergrande dan kerawanan industri properti di Tiongkok terhadap Indonesia? Salah satu kekhawatiran dari efek Evergrande adalah kenaikan cost of fund atau biaya dana dimana jika biaya dana tinggi, maka pengembang Tiongkok yang ada di Indonesia akan otomatis tertekan.

Hal ini menyebabkan developer Tiongkok tidak bisa lagi mencari pendanaan di Indonesia akibat biaya dana yang tinggi, sehingga pasar real estate di Indonesia akan sulit bekerja sama dengan pengembang Tiongkok.

Potensi imbas ke tanah air juga dapat dilihat dari dua sisi yaitu ekspor dan hutang. Krisis likuiditas Evergrande bisa berdampak pada penurunan kepada sektor ekspor yang berorientasi dengan material properti seperti besi baja, keramik, bahan tambang sampai kayu yang masuk dalam rantai pasok industri properti di Tiongkok akan mengalami penurunan imbas krisis Evergrande.

Baca Juga: Pendapatan Ambles, Bisnis Properti Bakrie Rugi Belasan Miliar

Jika Evergrande gagal untuk melakukan pembayaran, hal ini akan berdampak negatif pada bursa saham Indonesia, dimana investor asing akan menyesuaikan kembali portfolio kepemilikan sahamnya di bursa efek Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI