Suara.com - Di tengah dorongan global untuk beralih kepada energi baru terbarukan (EBT), pemerintah diminta untuk tetap memberi perhatian kepada sektor hulu migas karena peran strategisnya sebagai sumber energi transisi.
Secara ekonomi, sektor ini pun masih menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang utama sekaligus komponen utama penggerak perekonomian nasional.
Industri hulu migas bahkan perlu mendapatkan perhatian lebih, agar investasi dapat ditingkatkan secara signifikan, sehingga cita-cita peningkatan produksi migas untuk menutup kebutuhan energi Indonesia di masa depan, juga dapat direalisasi.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, di Jakarta mengatakan, peningkatan investasi dibutuhkan untuk mendongkrak produksi. Hal ini mutlak dibutuhkan karena pemerintah harus mewaspadai laju penurunan kinerja sumur-sumur migas di tanah air.
Baca Juga: Karena IKN, Balikpapan Mulai Beralih ke Energi Baru Terbarukan, Apa Tuh?
“Kinerja sumur berdampak langsung pada produksi migas nasional. Hal yang paling krusial adalah untuk mengantisipasi produksi migas yang menurun. Padahal konsumsi kita naik terus," kata Komaidi ditulis Senin (22/11/2021).
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Migas (SKK Migas), lifting migas nasional per Kuartal III – 2021,mencapai 1.640 juta barel setara minyak per hari (MBOEPD) dengan rincian lifting minyak sebesar 661 ribu barel minyak per hari (BOPD), atau 93,8% dari target APBN yang ditetapkan untuk tahun ini sebesar 705 ribu BOPD. Sedangkan lifting gas sebesar 5.481 MMSCFD (standar kaki kubik per hari) dari target APBN sebesar 5.638 MMSCFD atau tercapai 97,2%.
Pada tahun 2020, kontribusi hulu migas pada penerimaan negara mencapai Rp122 triliun atau 144% dari target APBN-P 2020. SKK Migas terus berupaya meningkatkan kontribusi penerimaan negara di tengah pandemi COVID. Hingga kuartal tiga 2021, realisasi penerimaan negara dari sektor hulu migas mencapai US$9,53 miliar atau melebih target tahun ini sebesar US$7,28 miliar.
SKK Migas telah mencanangkan target besar untuk tahun 2030, yaitu produksi minyak sebesar 1 juta BOPD dan gas sebesar 12 BSCFD. Luky Agung Yusgiantoro, Tenaga Ahli Kepala SKK Migas, secara konsisten lembaganya mengusahakan pencapaian target tersebut dan memonitor pencapaian dari usaha-usaha yang dilakukannya.
Salah satu wadahnya adalah, melalui gelaran The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 yang akan berlangsung dari 29 November hingga 1 Desember 2021.
Baca Juga: World Super Bike Mandalika Manfaatkan Energi Baru Terbarukan
"Melalui konvensi ini, kami berharap kolaborasi antar stakeholder yang sudah terbangun sejak tahun lalu, dapat semakin ditingkatkan, sehingga usaha peningkatan investasi dan produksi, dapat dilakukan semakin massif. Seperti penyelenggaraan konvensi sebelumnya, konvensi virtual ini juga terbuka untuk umum secara gratis, silakan mendaftar di www.iogconvention.com," ujarnya.
Perlu Insentif
Cadangan minyak terbukti Indonesia saat ini sekitar 3,8 milyar barel (BBO) dan cadangan terbukti gas sekitar 77 triliun kaki kubik (TCF). Cadangan gas yang jauh lebih besar dibanding minyak, menjadi modal Indonesia untuk sukses mengawal transisi energi, karena gas yang dianggap sebagai sumber energi bersih telah ditetapkan sebagai substitusi utama energi transisi.
Dilihat dari kontribusi hulu migas menurut Komaidi membuat sektor ini masih realistis untuk terus dijaga dan dikembangkan. Salah satu cara yang harus dikedepankan adalah pemberian insentif. Menurut dia pemerintah sebenarnya sudah mulai terbuka terhadap insentif sering diusulkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Komaidi menilai inisiatif dari SKK Migas agar blok Mahakam mendapatkan insentif dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) patut untuk diduplikasi. SKK Migas sebelumnya telah usulkan sembilan paket insentif hulu migas kepada Kementerian ESDM.
Sejauh ini ada enam insentif Penundaan sementara pencadangan biaya kegiatan pasca operasi atau Abandonment and Site Restoration (ASR). Kemudian pengecualian PPN LNG melalui penerbitan PP 48/2020 tentang impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dikecualikan dari Kewajiban PPN.
Pembebasan biaya pemanfaatan barang milik negara yang akan digunakan untuk kegiatan hulu migas. Penundaan atau pengurangan hingga 100 persen pajak-pajak tidak langsung. Penerapan volume gas yang dapat dijual dengan harga market untuk semua skema di atas take or pay dan 'Daily Contract Quantity' (DCQ).
Penerapan insentif investasi, di antaranya depresiasi dipercepat, perubahan split dan DMO full price. Baru satu kontrak yang mendapatkan insentif tersebut yakni blok Mahakam yang sekarang dioperatori oleh Pertamina Hulu Mahakam (PHM).
"Insentif ke blok Mahakam saya kira positif, upaya-upaya seperti blok mahakam saya kira yang perlu diduplikasi," ujar Komaidi.
Masih ada tiga insentif yang saat ini sedang dalam pembahasan yakni Tax holiday untuk pajak penghasilan di semua wilayah kerja migas. Lalu penyesuaian biaya pemanfaatan Kilang LNG Badak sebesar US$0,22 per MMBTU.
Serta dukungan dari kementerian yang membina industri pendukung hulu migas (industri baja, rig, jasa dan service) terhadap pembahasan pajak bagi usaha penunjang kegiatan hulu migas.
Berbagai paket insentif tersebut menurut memang diperlukan guna menggenjot investasi. Beberapa KKKS mengaku sudah memiliki program pengembangan blok migas yang bisa hasilkan peningkatan produksi namun proyek tersebut belum ekonomis perlu insentif agar menjadi ekonomis.
Ketika proyek bisa dijalankan diharapkan bisa turut mengkerek kinerja produksi sehingga bisa ikut membantu dalam pencapaian target produksi migas tahun 2030 yakni minyak sebesar 1 Juta Barel Per Hari (BPH) dan minyak 12 Ribu Juta Kaki Kubik Per Hari (MMscfd).
Sementara itu, Mulyanto Anggota Komisi VII DPR RI menyatakan peningkatan produksi migas harus terus diupayakan. Hal itu selain untuk menjawab kebutuhan akan energi fosil yang tidak bisa dengan singkat menurun begitu saja namun juga bisa ada pengalihan penggunaan migas untuk sektor industri petrokimia.
Menurut dia untuk pasar domestik, sesuai rencana pemerintah dengan komitmen transisi energi adalah pengurangan penggunaan bbm di sektor transportasi dan pembangkit fosil (termasuk diesel). Targetnya net zero emision di tahun 2060.
Di pasar internasional, logikanya kurang lebih serupa. Artinya ada potensi penurunan demand nanti untuk minyak, namun demikan masih ada sektor petrokimia yang saat ini juga tengan digenjot pengembangannya oleh pemerintah.
"Industri petrokimia bisa menjadi peluang, sebagai produk turunan dari migas.Selain itu, demand migas untuk sektor industri manufaktur masih dimungkinkan sampai tahun 2060," kata Mulyanto.