Suara.com - Nelayan dan warga di kawasan Bojonegara, Kabupaten Serang, Banten terus mengeluhkan proyek reklamasi yang dilakukan PT Gandasari Energi sejak 2020 silam.
Pasalnya, pengerjaan proyek di wilayah tempat kembang biak karang, rumpon udang dan ikan belanak tersebut terus dilakukan, meski Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas I Banten sudah memintanya untuk menghentikan reklamasi.
Hal ini disayangkan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin. Menurutnya, dari sisi hukum pun kegiatan reklamasi yang terkesan menghancurkan lingkungan itu dilarang. Begitu pun dari sisi sosial, dimana wilayah pesisir laut dijadikan tempat mencari nafkah bagi para nelayan pencari ikan.
"Artinya begini, wilayah pesisir itu ruang bersama. Artinya semua masyarakat yang selama ini hidup di kawasan itu, terutama nelayan yang menangkap (ikan), itu tidak boleh haknya direnggut. Karena selama ini mereka menggantungkan kehidupannya di sektor kelautan," ujar Parid ditulis Sabtu (20/11/2021).
Baca Juga: Tiga Nelayan Aceh yang Diduga Hilang Dipulangkan
Berbicara dari sisi hukum, ia coba mencomot Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010, yang secara mandat menegaskan pengelolaan di kawasan pesisir dan pulau kecil harus dialokasikan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
"Dari sisi yang lain, saya ingin sebut begini, misal perusahaan mengklaim telah mendapatkan izin. Diizinkan oleh pemerintah saja menurut saya reklamasi itu suatu bentuk pelanggaran," tegasnya.
"Lalu di wilayah pesisir itu ada yang dinamakan masyarakat sebagai rights holder, pemegang hak untuk mengakses sumber daya pesisir dan laut, mereka yang harus diutamakan sebenarnya," dia menambahkan.
Sementara dari sisi lingkungan, Parid menyebut penggarapan proyek reklamasi akan selalu memiliki dampak merusak lingkungan. Tidak hanya di lokasi proyek yang terjadi pengurugan saja, tapi juga di kawasan pesisir lain yang kekayaan pasirnya dicomot untuk pengerjaan tanah reklamasi.
"Lalu, di wilayah lain terutama di daerah-daerah yang diambil pasirnya itu mengandung kerusakan. Jadi dia merusak dua tempat sekaligus, di lokasi reklamasi dan di tempat pengambilan material pasir," ungkapnya.
Baca Juga: Tangkapan Minim, Nelayan di Pantai Selatan Cianjur Berhenti Melaut
Kemudian dari sisi sosial, nelayan dan masyarakat sekitar pun akan sangat dirugikan karena hak mereka sebagai rights holder wilayah pesisir dirampas. Padahal, mereka secara turun-temurun telah menggantungkan hidupnya di tempat tersebut.
Parid lantas menggarisbawahi, jika proyek reklamasi melanggar 4 pola umum, antara lain menentang ketentuan hukum yang ditetapkan MK melalui Putusan Nomor 3/2010, merampas hak sosial masyarakat sekitar, merusak lingkungan, dan mengabaikan hak partisipatif warga untuk memanfaatkan wilayah.
"Kalau reklamasi di banyak tempat biasanya mendapat penolakan dari masyarakat. Karena itu bukan kebutuhan mereka, hanya untuk kepentingan sepihak," seru Parid.
Menurut dia, masyarakat dan pemangku kepentingan berhak mengajukan penegakan hukum atas pengerjaan proyek reklamasi yang terjadi di Serang. Karena dari ketentuan yang sudah diamanatkan, kegiatan reklamasi jelas mengabaikan hak hidup masyarakat luas, utamanya nelayan.
"Lalu yang lain yang tak kalah penting, UU 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, itu ada mandat dari UU yang harus dilakukan oleh pemerintah, yaitu mandat perlindungan dan mandat pemberdayaan," pungkas Parid.