Mendukung Pemberdayaan Perkebunan Sawit Rakyat

Iwan Supriyatna Suara.Com
Jum'at, 19 November 2021 | 07:12 WIB
Mendukung Pemberdayaan Perkebunan Sawit Rakyat
Minyak kelapa sawit disebut tidak berbahaya. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Produksi minyak sawit mentah atau CPO terus bertambah, sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar global setiap tahunnya. Faktanya, peningkatan produksi CPO global sebagian besar bersumber dari Indonesia.

Potensi besar yang dimiliki Indonesia, menjadi keunggulan besar guna terus meningkatkankan produksi CPO secara berkelanjutan.

Praktik budidaya terbaik dan berkelanjutan yang dilakukan petani kelapa sawit, sudah mendapat banyak kemajuan. Kendati masih memiliki berbagai hambatan dalam implementasinya, namun keberadaan praktik budidaya terbaik dan berkelanjutan masih terus dilakukan perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit.

Upaya pemberdayaan petani kelapa sawit tersebut, juga membutuhkan dukungan dari pihak lain, terutama Pemerintah dan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Baca Juga: Laba Sawit Sumbermas Naik 286,38 Persen Dalam Setahun

Pasalnya, keberadaan petani masih mengalami kesulitan besar dalam melakukan praktek budidaya terbaik dan berkelanjutan. Disisi lain, dukungan pendanaan bagi kebun petani juga masih terbilang sulit.

Dengan luasan lahan perkebunan kelapa sawit nasional lebih dari 42%, dimiliki petani kelapa sawit membutuhkan banyak dukungan dari semua pihak. Sebab itu pemberdayaan petani kelapa sawit, harus terus dilakukan, demi keberlangsungan perkebunan kelapa sawit di masa depan.

Adanya seruan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, yang mendorong pengembangan industri hilir sawit, dapat diartikan sebagai upaya membangun industri minyak sawit secara holistik dan berkelanjutan. Arahan dari Presiden Jokowi ini, sebagai upaya Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan minyak sawit guna mendapatkan nilai tambah lebih di dalam negeri.

Guna meningkatkan nilai tambah minyak sawit didalam negeri, maka syarat utama yang harus dilakukan yaitu melalui penguatan industri hulu minyak sawit yaitu perkebunan kelapa sawit. Melalui perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, maka pembangunan industri hilir minyak sawit akan lebih mudah dilakukan.

Pasalnya, ketersediaan bahan baku menjadi bagian dari kunci keberhasilannya. Salah satu inisiasi yang diambil pemerintah, melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Sebagai program strategis nasional, PSR bertujuan meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan kelapa sawit sekaligus menjaga luasan lahan perkebunan kelapa sawit.

Baca Juga: Permintaan Benih Sawit Tinggi, Ditjenbun Terima Permohonan SP2BKS Setiap Hari

Dengan meningkatnya produktivitas, maka peningkatan hasil produksi panennya dapat dihasilkan melalui optimalisasi lahannya.

Dari program PSR tahun 2020-2022, Pemerintah Indonesia menargetkan luasan lahan perkebunan sebesar 540 ribu hektar dapat dilakukan replanting. Target ini tersebar diberbagai wilayah, seperti Sumatera sebesar 397.200 hektar, Jawa seluas 6.000 ha, Kalimantan sebanyak 86.300 ha dan Sulawesi serta Papua, seluas 44.500 ha dan 600 ha.

Pada tahun 2021, target PSR ditetapkan seluas 180 ribu ha yang mendapat dukungan dana subsidi sebesar Rp. 30 juta/ha, dengan luasan lahan maksimal sebesar 4 ha/pekebun.

Pentingnya PSR bagi petani kelapa sawit Indonesia, dapat menjadikan perkebunan kelapa sawit miliknya lebih produktif dan berkembang di masa depan. Sebab itu, dukungan dari semua pihak dibutuhkan guna menjalin kerjasama berkelanjutan.

Sehingga pemberdayaan perkebunan kelapa sawit milik rakyat ini dapat terus berkembang di masa depan.

Diungkapkan Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kemenko, Edy Yusuf, sejatinya Pemerintah telah mendorong dilakukannya pemberdayaan petani dan organisasi petani untuk pengembangan kemampuan petani, dan organisasi petani agar dapat memperoleh akses dalam memenuhi kebutuhan (modal, teknologi, agro-input, benih/bibit) Serta pengembangan kemitraan antara petani dan pengusaha dalam berbagai kegiatan di hulu hingga hilir.

Kata Edy, pemberdayaan petani/masyarakat kelapa sawit diantaranya dilakukan dengan pertama, melakukan pendidikan, pelatihan dan magang petani, kedua, pendampingan dan pengawalan implementasi teknologi dan kelembagaan. Ketiga, penghimpunan dana peremajaan dalam rangka keberlanjutan usaha.

Kemudian keempat, pemantapan kelembagaan yang mendukung pengembangan agribisnis kelapa sawit. Lantas kelima, kemitraan antara perusahaan besar negara/swasta dengan kelompok tani dalam rangka akselerasi peremajaan sawit rakyat.

“Dibutuhkan adanya sinergi kebijakan antara lembaga pemerintah dan lembaga legislatif serta antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai motor penggerak ekonomi nasional dan daerah. Hal ini ditempuh melalui koordinasi dan sinkronisasi antar seluruh stakeholders yang dilakukan secara berkala,” kata Edy dalam acara Webinar FGD Sawit Berkelanjutan
Vol. 10, bertajuk “Mendukung Pemberdayaan Perkebunan Sawit Rakyat”, yang diadakan InfoSAWIT ditulis Jumat (19/11/2021).

Sementara dikatakan Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari, guna mendukung petani sawit swadaya, solusi Indonesia adalah melalui program penanaman kembali petani besar-besaran yang bertujuan untuk membantu petani sawit swadaya memperbaharui perkebunan kelapa sawitnya dengan kelapa sawit yang lebih berkelanjutan, dan berkualitas serta mampu mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal (Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan -LULUCF).

Lebih lanjut kata Sunari, sebab itu dalam penerapan PSR mencakup 4 aspek, pertama aspek legalitas yakni petani swadaya yang berpartisipasi dalam program ini harus mengikuti aspek legalitas tanah.

Kedua aspek produktivitas, ialah pencapaian standar produktivitas untuk program penanaman kembali bagi perkebunan yang produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) sawitnya masih dibawah 10 ton/ha/tahun.

“Termasuk kebun sawit rakyat yang Kepadatan tanaman kurang dari 80 pohon/h,” kata Sunari.

Lantas ketiga aspek sustainability, dimana program penanaman kembali mesti mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, yang meliputi: tanah, konservasi, lingkungan dan lembaga. Lantas keempat, pemenuhan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dengan memastikan prinsip keberlanjutan, kata Sunari, peserta program ini diharuskan untuk mendapatkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada panen pertama.

Hanya saja dialam praktiknya program yang digagas pemerintah ini masih menghadapi beberapa kendala, diungkapkan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, permasalahan itu antara lain masih tingginya tanaman Sawit rakyat yang sudah memasuki masa peremajaan dan tingkat produktivitas yang rendah, paahal pemerintah mentargetkan PSR setiap tahun minimal 180 ribu Ha.

Lebih lanjut kata Mukti, dana PSR yang disediakan sebesar Rp 30 juta hanya cukup untuk Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)1.

“Lantas bagaimana dengan dana sampai TM1, sumber pendapatan pekebun selama tanaman belum menghasilkan?” tutur Mukti.

Termasuk mengenai, legalitas lahan, khususnya kebun sawit yang diidentifikasikan masuk dalam Kawasan hutan, lantraran terdapat lahan eks PIR dan eks Transmigrasi masuk dalam Kawasan hutan.

Solusi UUCK hanya untuk sawit rakyat yang kurang dari 5 Ha dan berdomisili di lokasi.

“Bagaimana diluar itu? Mengenai jual beli kapling/ganti pemilikan (eks PIR), bagaimana berkembangnya PKS tanpa kebun?” ucap Mukti.

Sebab itu GAPKI dalam mendukung PSR, dengan melakukan pembentukan SATGAS Percepatan PSR GAPKI, yang melibatkan seluruh Cabang GAPKI, dimana cabang melakukan assesment dan pemetaan potensi lahan dan petani PSR disekitar anggota, update perkembangan penanaman).

Menjadi Anggota Pokja Penguatan Data dan Peningkatan Kapasitas Pekebun-Kemenko Perekonomian, kemudian aktif dalam Koordinasi Rutin untuk Percepatan PSR dengan Kantor Menko Perekonomian, Ditjenbun, BPDPKS dll.

(Memberikan masukan kepada Pemerintah terkait kebijakan penyederhanaan proses pengajuan dan pembiayaan Percepatan PSR dll).

“Kami juga melakukan kerjasama dengan Asosiasi Petani/Pekebun dalam percepatan PSR (Pengikatan Kemitraan dengan MOU, FGD dll, serta mengawal dan meng-update secara rutin Percepatan PSR anggota GAPKI melalui Rapat Pusat & Cabang GAPKI,” kata Mukti.

Diungkapkan Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, dalam pemberdayaan petani kelapa sawit swadaya kerap tidak sesuai sasaran, kata dia, ibarat peribahasa “lain gatal lain yang digaruk”.

Sebab itu kedepan perlu ada komitmen dari para pelaku kelapa sawit untuk mendukung pengembangan petani sawit swadaya. Terlebih saat ini sebanyak 20 kebupaten/kota telah berkomitmen menerapkan Rancana Aksi Daera (RAD), yang sejatinya bisa bermanfaat bagi perkebunan kelapa sawit.

“Bila melihat kondisi petani kelapa sawit sangat miris, belum lagi perlu adanya peningkatan Best Management Practicess (BMP),” ungkap Darto.

Kedepan, tutur Darto, maka untuk promosi sawit perlu menampilkan hasil dilapangan dengan contoh konkret.

“Langkah bagusnya dana kelapa sawit harus dimaksimalkan untuk mendukung kabupaten dalam membangun perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, termasuk dukungan terhadap kebijakan RAD, apalagi ditingkat nasinal paying hukumnya telah ada yakni Rencana Aksi Nasiona (RAN),” kata Darto.

Langkah konkret menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi promosi positif, promosi dagang, promosi sawit berkelanjutan dan sebagai bukti penerapan BMP yang memang harus dilakukan guna memperkuat kelapa sawit Indonesia.

“Membenahi masalah yang muncul jangan melulu terkait sawit dalam kawasan hutan, tapi juga bagaimana sawit rakyat di kawasan APL, kita perlu benahi dengan baik, apalagi bila bicara ISPO, lantas seberapa banyak petani sawit yang sudah ISPO,” kata Darto.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI